The Written God

by hilaryreinhart

Tuhan kita adalah Tuhan yang menyejarah. Ia bergerak dalam suatu dimensi waktu dan periode dan tertulis pada suatu jurnal. Jurnal, catatan tersebut bisa jadi ditulis sendiri olehNya atau oleh manusia yang memiliki relasi denganNya. Sejarah Tuhan, adalah sejarah panjang selama beribu-ribu tahun dan telah ditulis dengan luar biasa oleh Karen Armstrong dengan judul demikian: ‘Sejarah Tuhan”.

Melihat sejarah Tuhan melupakan suatu hal yang sangat menarik. Tuhan menemani manusia selama berabad-abad lamanya. Ia menciptakan, lalu direproduksi dan diciptakan kembali oleh kesadaran untuk kemudian berinteraksi dengan ciptanNya kembali. Dalam narasi tersebut berbagai hal meliputi aspek-aspek vertical mengenai relasi makhluk dan khalik hingga relasi antara makhluk-makhluk didefinisikan dan diregulasi. Tak heran, catatan atau kitab tersebut menjadi begitu sacral.

Catatan atau tulisan merupakan bentuk eksistensi sesuatu dalam sejarah. Sumber-sumber tertulis menjadi sumber pengetahuan yang valid dan sarat dengan kebenaran. Sesuatu yang ditulis adalah sesuatu yang benar-benar ada dan terjadi. dengan maksud dari benar-benar ada adalah berada dalam jangkauan inderawi dan dapat dinalar atau secara empiris dan rasional bisa dipertanggungjawabkan. Setidaknya begitulah hingga era modern ketika Tuhan berlibur dan berhenti memberikan wahyu atau menciptakan agama baru.

Dalam sejarahnya, secara singkat dalam dua paragraph ini akan saya ceritakan, Tuhan telah melalui petualangan yang jujur saja, tidak seru. Tuhan selalu menjadi pemenang dan mengatasi segala-galanya. Mengapa demikian? Tentu saja karena ia maha kuasa (terkadang mengajukan pertanyaan retoris malah terkesan menyindir) atau karena hanya kebetulan ketika para kaum teis yang menang sehingga dimasukan dalam narasi sehingga hanya Tuhan dan pengikutnya yang menang terus. Sejarah, bagaimanapun, adalah milik para penguasa.

Sulit rasanya menjabarkan proses awal mula kehadiran Tuhan. However, creator is keeper. Siapa yang menciptakan, dia yang memiliki, jadi kalau saya bilang Tuhan yang menciptakan manusia nanti diserang kaum sebelah kiri tapi kalau bilang manusia yang menciptakan Tuhan nanti diserang kaum kanan, duh, pusing pala Barbie. Maka dari itu cukup saya katakana awal interaksi –bukan proses cipta-mencipta- Tuhan adalah proses natural. Tuhan hadir sebagai sosok yang imanen karena ia dihayati sebagai elemen-elemen alam. Ini adalah point yang cukup penting sebab kehadiran Tuhan dirasakan dalam kehidupan sehari-hari dalam interaksi manusia dengan alamnya; interaksi primodial. Oleh sebab itu, Tuhan hadir dalam banyak wujud atau yang disebut sebagai politeistik. Ada Tuhan api, Tuhan air, Tuhan angin, Tuhan halilintar, dan seterusnya dan seterusnya. Mau barat atau timur sama saja, di Yunani, konsep elemen dasar alam mengatasi konsep atom milik Demokritus sehingga bisa dilihat inilah penghayatan Tuhan pada kondisi awalnya.

Kondisi berubah ketika Tuhan kemudian mengadakan dialog aktif dengan umatNya. Adalah nabi-nabi kita yang kemudian berdialog aktif dengan Tuhan. Disini, Tuhan hadir secara sangat personal dan menggunakan manusia-manusia terpilih untuk menjadi proksinya. Posisi Tuhan, alih-alih mewakili elemen alam berubah menjadi diatas elemen-elemen alam tersebut. Ia menjadi sang pencipta yang omnipoten. Tuhan merupakan pencipta elemen alam dan berada di luar elemen-elemen alam tersebut. Karena ia berada diatas itu semua, maka ia tak terikat pada keduniawian. Tuhan menggeser dirinya menjadi sangat jauh dan transenden. Karena itu ia menjadi satu saja atau dikenal dengan konsep monoteis. Peran nabi-nabi sebagai perantara wahyu semakin kentara apalagi mereka yang masuk ke dalam jajaran tokoh-tokoh kitab suci.

Tuhan yang berdialog kemudian memberikan manusia satu kesempatan: kebebasan. Manusia bisa bebas, bisa ragu dalam menjalankan perintah Tuhannya sebab inilah pangkalnya: Tuhan menjadi terpisah dari manusia. Nabi Yunus kabur dan dimakan ikan, Yesus kalut dan galau ketika berdoa di taman getsemani, dan berbagai contoh lainnya. Kebebasan merupakan implikasi dari dari relasi teranyar ini. sehingga jika kemudian Tuhan dikritisi, itu bukan hal yang aneh saya pikir, Tuhan saja memberi ruang dialog dengan manusia, lha ini manusia malah menutup diri dari dialog.

Begitulah kira-kira, catatan-catatan dialogis tersebut kemudian dibukukan dalam kitab suci sebagai sumber tertulis.

(*)

Kitab suci, terutama bagi agama-agama abrahaministik, sebagai wahyu merupakan sumber keimanan yang nomor wahid. Kalau di istilah akademik, referensi utama. Begitulah sampai kemudian kitab suci disakralkan dan banyak terbelit dengan kehidupan fana ini.

Maksudnya? Seringkali, terlalu sering banyak perkara kehidupan yang jawaban praktisnya coba dicari di kitab suci. Ini yang bikin saya sering jengkel. Bahkan tak jarang, di forum-forum akademis seperti di kelas waktu kuliah , kitab suci dijadikan referensi. Kitab suci, sebagai catatan tertulis tentang Tuhan adalah representasi dari wahyu, sempurna dan tidak objektif artinya tidak terbuka terhadap penyangkalan intersubjektif. Sifat komunikasi tertulis adalah tidak emosional dan nirpretensi sebab minim keseleo lidah sebagai gejala alam bawah sadar menurut Freud dan Lacan. Sebab itu, kitab suci ajeg dan statis dan sangat cocok untuk dijadikan referensi.

Namun, karena ia mengandung catatan Tuhan, penghayatan terhadap sumber-sumber tertulis tersebut adalah penghayatan nirfana. Kitab suci menyimpan misteri yang dibungkus dengan rona estetis yang luar biasa kuat. Secara implisit, kitab suci menggambarkan kekuatan Tuhan yang maha kuasa dan maha besar. Terlebih lagi di agama-agama abrahamistik, sebagai notulensi dialog antara Tuhan dengan nabi-nabiNya, maka kitab suci memuat substansi yang sangat misterius dan berkenaan dengan hubungan vertical antara manusia dengan Tuhannya.

Kitab suci, bukanlah panduan praktis kehidupan. Enak dong manusia kalau begitu, tidak perlu berpikir tinggal menjalani. Kalau ada permasalahan A tinggal cari di kitab suci, ada permasalahan B, ada di kitab suci. Bahwa ia suci, betul, bahwa ia sacral, iya, tapi sekali lagi, kitab suci bukanlah petunjuk teknis kehidupan.

Dan mengenai pemikiran kritis, ada yang juga mengatakan, ah itu kan diberikan setan ketika manusia memakan buah pengetahuan sehingga pengetahuan malah menjauhkan manusia dari Tuhannya. Itu merupakan pemberian iblis, sehingga menggunakannya hanya menjauhkan Tuhan dari kehidupan. Ya, memang demikian. Penyatuan manusia dengan Tuhannya, manunggaling kawula gusti memang tidak dapat dicapai lewat jalan-jalan kritis dan pengetahuan. Oh sudah, nanti dulu bicara soal konflik ini, pembongkaran mistifikasi agama dengan epistemologi pengetahuan memang aneh dan jarang menemukan titik temu, belum menjadi kapasitas saya untuk menuliskannya.

Apa yang kemudian menjadi fokus di tulisan ini adalah adagium saya bahwa: ‘kitab suci bukanlah panduan praktis kehidupan’. Manusia saya yakini, memiliki kemampuan kritisnya oleh suatu sebab. Bagaimana relasi kitab suci dan penerapannya di dalam kehidupan yang menurut saya paling masuk akal adalah apa yang dikatakan Thomas Aquinas: ‘Gratia supponit naturam’. Gratia suppoint naturam kira-kira berarti ‘rahmat mebgandaikan kodrat’. Menurut Romo Magnis-Suseno, ketika Tuhan mendekati manusia, maka ia mendekatinya dengan menggunakan kodrat manusia sebagai makhluk yang serba terbatas. Sehingga, manusia merasa takut, merasa, ragu, hingga bebas memilih sebagai salah satu kodrat yang diberikan Tuhan kepadanya (terserah juga kalau Anda berpendapat bahwa ketakutan, daya kritis, dan kebebasan itu karunia iblis).

Dengan demikian, ketika berhadapan dengan fenomena dan dunia ini, kodrat manusia sebagai makhluk berakal budi menjadi yang pertama digunakan. Jawaban-jawaban praktis mengenai dunia ini harus diusahakan oleh manusia. Pertanyaan dan permasalahan kimia jangan dicari di kitab suci. Ketika Anda memaksa mencarinya yang terjadi bukanlah solusi melainkan pembenaran atau dalam bahasa media sosialnya, cocoklogi. Pembenaran sangatlah berbahaya dan terjadi ketika manusia bermain Tuhan. Bermain Tuhan itu menyenangkan karena berhubungan dengan kekuasaan yang tidak terbatas sehingga memabukan.

Sekuler bukan? Tidak boleh mencari jawaban sehari-hari pada agama. Padahal salah satu proyek agama sebagai salah satu bentuk institusi adalah menjadi kebenaran tunggal. Tapi bagi Anda yang beragama abrahaministik (Kristen, islam, yahudi) lalu menolak sekulerisasi saya rasa aneh. Tuhan Anda yang sangat jauh itu memang tidak terjangkau bukan? Tapi toh kita juga lantas merepresi kaum sufi ketika ada mereka mencoba bersatu dengan Tuhan mereka lewat cara-cara yang tidak ‘ilmiah’ menurut agama. Dianggap syirik, musyrik, menyekutukan Tuhan, dan sebagai-bagainya.

Tuhan yang dituliskan, beserta seluruh wahyunya adalah misteri yang sangat indah dan sangat sulit dijangkau lewat penalaran. Tuhan merupakan entitas yang dihayati bukan dipahami. Masalah-masalah praktis seperti putus dengan pacar, galau, dipecat, bertengkar dengan orang tua jangan lah dicari di kitab suci. Tuhan tidak menurunkan wahyunya buat perkara remeh-temeh semacam itu. Proyek Tuhan adalah keselamatan seluruh umat manusia ketika di akhir nanti. Semetara kita yang masih bisa berjuang sendiri, gunakanlah semua daya dan upaya kita: Sapere Aude!