Estetika Rasional
Pulchrum Splendor Est Veritatis
Sependek pengalaman saya membaca dan mempraktikan kegiatan belajar mengajar, salah satu hambatan terbesar yang dihadapi oleh kawan-kawan dalm mempelajari hal baru dan merupakan tantangan terbesar yang harus dihadapi adalah masalah kemampuan bahasa dan komunikasi atau kemampuan mengabstraksi sesuatu. Detilnya lagi, adalah kemampuan memahami dan menginternalisasi istilah-istilah baru. Seringkali, dalam banyak kasus, teman-teman gagal memahami konsep secara utuh karena terpentok pada suatu istilah. Saya dapat menyimpulkan demikian, karena kebetulan, beberapa kali diminta menyampaikan perkara Geomorfologi Karst dimana geomorfologi adalah kajian yang berisi banyak sekali istilah untuk merujuk dan mem’bahasa’kan berbagai bentukan yang ada di permukaan bumi.
Dalam kajian geomorfologi, setiap pengamatan dituntut harus dapat mengidentifikasi dan membedakan sesuatu berdasarkan bentukannya. Bentuk cembung, lingkaran, cekung, datar, miring, kotak dan sebagainya menjadi dasar utama untuk membedakan dan mengklasifikasi berbagai fenomena berupa bentukan di permukaan bumi. Sebab itu, pengamat harus mengenali dan memberi nama serta istilah berbagai maam bentukan tersebut dan mereka bisa beranak pinak sedemikian banyaknya. Suatu bentuk cekungan bisa menjadi doline, uvala, polje, gorge. Suatu doline, berdasarkan bentuknya lagi bisa berupa cockpit atau poligonal. Padahal, selain an sich dari bentukannya, suatu fenomena geomorfologi juga diklasifikasikan berdasarkan proses terbentuknya. Doline tadi, jika dilihat dari prosesnya bisa beranak pinak menjadi subsidence doline, collapsed doline, atau solution doline. Sampai pada titik ini, kita bisa membayangkan berapa banyak istilah yang harus dijejalkan ke dalam satu kepala hanya lewat geomorfologi saja.
Tak jauh berbeda, dalam ilmu sosial, kita juga harus berhadapan dengan berbagai macam istilah yang kadangkala bikin macet. Wabil khusus dalam rumpun keilmuan sosial, kita berhadapan dengan sesuatu yang nyaris tidak empiris. Maka sebagai tantangan baru, selain kemampuan identifikasi, kita perlu kecerdasan abstrak yang membuat kita mampu merasakan suatu fenomena dan membedakannya dari fenomena lain. Terma-terma khusus dalam keilmuan sosial seperti, sebagai contoh dalam konteks marxis sepeti struktur, basis, komoditas, atau nilai menjadi contoh sebab, dalam konteks atau paradigma lain, istilah tersebut akan merujuk kepada sesuatu yang lain.
Memusingkan? Jelas.
Mengapa ini semua penting? Sebab salah satu syarat yang menjadi tulang punggung dalam keilmuan adalah obyektifitasnya. Setiap subjek atau manusia di dalam arena ilmiah diharapkan (atau diharuskan) dapat melakukan pemahaman dan penyangkalan terhadap suatu konsep. Demikian sehingga, diperlukan kesepakatan bersama dalam suatu fenomena agar kemudian fenomena tersebut dapat dikonstruksi atau didekonstruksi oleh berbagai individu. Dalam hal ini kita menyerahkannya ke dalam bahasa. Apa contohnya? Untuk dapat melakukan kritik terhadap suatu sistem pemerintahan kita harus tahu terlebih dahulu bagaimana pemerintahan sebagai suatu fenomena ber’ada’. Ada berbagai macam atribut dan ciri-ciri yang menempel dalam sistem pemerintahan tersebut. Gabungan dari berbagai atribut tersebut yang kemudian dikelompokan dan melahirkan entitas tersendiri. Ketika entitas tersebut lahir, kita akan dapat mengkajinya. Sebagai gambaran, atribut demokrasi seperti rakyat, pemilihan umum, dan dewan akan bertentangan dengan atribut-atribut di teokrasi seperti tuhan, keturunan, dan petinggi agama. Bilamana kemudian kita sampai pada kajian ilmiah sepeti pertanyaan: mana yang lebih cocok diterapkan di dalam iklim sosial-budaya Indonesia? Kita sudah separo jalan sebab sudah memahami atribut ciri dan karenanya akan dapat dikontekstualisasi ke dalam dunia riil. Selain tentu saja muatan kepraktisan.
Perlu diperhatikan juga bahwa dalam menciptakan suatu terma atau entitas baru, diperlukan dasar-dasar. Dalam konteks geomorfologi dan geologi, suatu istilah baru dapat diciptakan berdasarkan pertimbangan: bentuk, proses, material/bahan dan ukuran/skala. Bentuk dan proses yang sama namun memiliki perbedaan ukuran yang “mencolok” dapat diklasifikasikan secara berbeda. Contoh teranyar adalah masuknya istilah Tiankeng untuk merujuk pada doline yang sangat besar. Bentuk cembung di permukaan, dengan ukuran dan bentuk yang sama namun berbeda proses juga dapat diklasifikasikan berbeda. Ini akan memudahkan Anda apabila pada suatu kelas filsafat ada yang mempermasalahkan “kenapa ini meja dan kenapa itu bukan meja?”. Tak perlu mundur terlalu jauh untuk masuk ke diferensiasi forma, idea, dan substansi ala Plato dan Aristoteles, cukup lah dijelaskan berdasarkan pertimbangan di atas atau sergah dia mengenai apa pentingnya mempertanyakan hal tersebut karena pada akhirnya ia hanya membuat proses berpikir filsafati menjadi tidak relevan.
Begitulah bahwa bahasa adalah jembatan utama antara apa yang ada di dalam idea kita dengan fenomena yang ada di dunia. Masih ada banyak sekali entitas-entitas yang tidak terjembatani baik fenomena yang ada dengan istilah maupun apa yang ada di pemikiran kita dengan fenomena yang ada di dunia ini. Tak perlu risau, pelan-pelan saja melangkah.
Itu satu hal, ini hal yang lainnya.
Selain pemahaman abstrak atau kesulitan memhami istilah baru, yang menjadi kelemahan berikutnya adalah kurangnya apresiasi. Ini kita sudah mafhum, sedari kecil secara sadar atau tidak kemampuan apresiasi kita terhadap dunia sudah dibelenggu dan dihimpit. Kita tidak pernah diajarkan betapa indah dan menyenangkannya dunia ilmu pengetahuan yang sebenarnya. Salah satu faktornya jumlah mata pelajaran kesenian yang sangat terbatas dan itu pun diisi oleh materi dan kegiatan kreasi, bukan apresasi. Saya membayangkan bahwa mestinya dalam setiap peajaran kesenian kita diberikan satu karya untuk kemudian diapresiasi bersama bukan Cuma diisi kegiatan melukis dan membuat prakarya.
Hal tersebut saya pikir berujung pada impotensi teman-teman kita menangkap keindahan dari suatu fenomena. Contoh lainnya adalah pelajaran matematika dan fisika. Kita dijejali betapa mengerikannya dan terkenal sekali bahwa kedua hal tersebut menjadi momok yang menakutkan. Padahal, apabila kita melihat dan merasakannya, keduanya menawarkan keindahan yang tersembunyi. Sejenak saja, jika berkesempatan, cobalah Anda melihat grafik sinusoidal atau grafik tangensial dan resapi keindahannya. Saya pernah mendapatkan momen seperti ini ketika ujian akhir Fisika Reaktor Nuklir. Di akhir ujian saya ingat betapa 4 lembar kertas jawaban saya yang penuh berisi persamaan diferensial dan pemodelan menjadi suatu keindahan tersendiri terlebih saya tidak ditakdirkan dapat menciptakan bentuk dan rupa.
Atau semisal butuh bentukan lain, Anda bisa iseng browsing teori fraktal dan bentukan Mandelbroit Set lalu resapi keindahannya. Jika memang Anda tidak menangkap keindahannya, maka terbukti kemampuan apresiasi Anda dimatikan sedemikian rupa sehingga Anda perlu menghidupkannya kembali, sama seperti saya. Sungguh, pesan saya untuk Anda bila besok Anda diminta menyampaikan keilmuan alam kepada siapapun, teman atau anak Anda, mulailah dari mengajaknya untuk mengenali keindahannya terlebih dahulu baru bicara logikanya.
Dalam suatu esainya, Karlina Supelli menyatakan bahwa suatu rasionalitas dan logika akan selalu dibangun di atas dan menginternalisasi keindahan di dalamnya. Beliau mencontohkan bagaimana Paul Dirac membuat model berdasarkan keindahannya dulu untuk kemudian baru ditemukan verifikasinya. Demikian bagaimana bahasa dalam keilmuan juga memegang peranan penting. Dalam ilmu-ilmu kualitatif penggunaan keindahan bahasa menjadi salah satu faktor utama untuk juga dapat mencintainya. Salah satu contohnya adalah judul penelitian Harry J. Benda yang berjudul The Crescent and the Rising Sun. Indonesian Islam under the Japanese Occupation 1942–1945 dimana Benda menggunakan metafora untuk menjelaskan islam (crescent) dan jepang (rising sun) atau yang lebih populer tentu saja buku-buku karangan Soe Hok Gie: Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan dan Dibawah Lentera Merah. Mereka adalah orang-orang yang sanggup menggunakan sastra dalam karya ilmiahnya.
Sayangnya, lagi-lagi sayangnya, segala macam keindahan itu dianggap sebagai musuh bagi sistem pendidika kita. Barangkali memang kita manusia tak perlu lagi keindahan. Semoga tidak.
scriptammanent