scriptamanent

"Veritate Perempta Novam Sententiam Petimus"

Month: January, 2019

Estetika Rasional

Pulchrum Splendor Est Veritatis

Sependek pengalaman saya membaca dan mempraktikan kegiatan belajar mengajar, salah satu hambatan terbesar yang dihadapi oleh kawan-kawan dalm mempelajari hal baru dan merupakan tantangan terbesar yang harus dihadapi adalah masalah kemampuan bahasa dan komunikasi atau kemampuan mengabstraksi sesuatu. Detilnya lagi, adalah kemampuan memahami dan menginternalisasi istilah-istilah baru. Seringkali, dalam banyak kasus, teman-teman gagal memahami konsep secara utuh karena terpentok pada suatu istilah. Saya dapat menyimpulkan demikian, karena kebetulan, beberapa kali diminta menyampaikan perkara Geomorfologi Karst dimana geomorfologi adalah kajian yang berisi banyak sekali istilah untuk merujuk dan mem’bahasa’kan berbagai bentukan yang ada di permukaan bumi.

Dalam kajian geomorfologi, setiap pengamatan dituntut harus dapat mengidentifikasi dan membedakan sesuatu berdasarkan bentukannya. Bentuk cembung, lingkaran, cekung, datar, miring, kotak dan sebagainya menjadi dasar utama untuk membedakan dan mengklasifikasi berbagai fenomena berupa bentukan di permukaan bumi. Sebab itu, pengamat harus mengenali dan memberi nama serta istilah berbagai maam bentukan tersebut dan mereka bisa beranak pinak sedemikian banyaknya. Suatu bentuk cekungan bisa menjadi doline, uvala, polje, gorge. Suatu doline, berdasarkan bentuknya lagi bisa berupa cockpit atau poligonal. Padahal, selain an sich dari bentukannya, suatu fenomena geomorfologi juga diklasifikasikan berdasarkan proses terbentuknya. Doline tadi, jika dilihat dari prosesnya bisa beranak pinak menjadi subsidence doline, collapsed doline, atau solution doline. Sampai pada titik ini, kita bisa membayangkan berapa banyak istilah yang harus dijejalkan ke dalam satu kepala hanya lewat geomorfologi saja.

Tak jauh berbeda, dalam ilmu sosial, kita juga harus berhadapan dengan berbagai macam istilah yang kadangkala bikin macet. Wabil khusus dalam rumpun keilmuan sosial, kita berhadapan dengan sesuatu yang nyaris tidak empiris. Maka sebagai tantangan baru, selain kemampuan identifikasi, kita perlu kecerdasan abstrak yang membuat kita mampu merasakan suatu fenomena dan membedakannya dari fenomena lain. Terma-terma khusus dalam keilmuan sosial seperti, sebagai contoh dalam konteks marxis sepeti struktur, basis, komoditas, atau nilai menjadi contoh sebab, dalam konteks atau paradigma lain, istilah tersebut akan merujuk kepada sesuatu yang lain.

Memusingkan? Jelas.

Mengapa ini semua penting? Sebab salah satu syarat yang menjadi tulang punggung dalam keilmuan adalah obyektifitasnya. Setiap subjek atau manusia di dalam arena ilmiah diharapkan (atau diharuskan) dapat melakukan pemahaman dan penyangkalan terhadap suatu konsep. Demikian sehingga, diperlukan kesepakatan bersama dalam suatu fenomena agar kemudian fenomena tersebut dapat dikonstruksi atau didekonstruksi oleh berbagai individu. Dalam hal ini kita menyerahkannya ke dalam bahasa. Apa contohnya? Untuk dapat melakukan kritik terhadap suatu sistem pemerintahan kita harus tahu terlebih dahulu bagaimana pemerintahan sebagai suatu fenomena ber’ada’. Ada berbagai macam atribut dan ciri-ciri yang menempel dalam sistem pemerintahan tersebut. Gabungan dari berbagai atribut tersebut yang kemudian dikelompokan dan melahirkan entitas tersendiri. Ketika entitas tersebut lahir, kita akan dapat mengkajinya. Sebagai gambaran, atribut demokrasi seperti rakyat, pemilihan umum, dan dewan akan bertentangan dengan atribut-atribut di teokrasi seperti tuhan, keturunan, dan petinggi agama. Bilamana kemudian kita sampai pada kajian ilmiah sepeti pertanyaan: mana yang lebih cocok diterapkan di dalam iklim sosial-budaya Indonesia? Kita sudah separo jalan sebab sudah memahami atribut ciri dan karenanya akan dapat dikontekstualisasi ke dalam dunia riil. Selain tentu saja muatan kepraktisan.

Perlu diperhatikan juga bahwa dalam menciptakan suatu terma atau entitas baru, diperlukan dasar-dasar. Dalam konteks geomorfologi dan geologi, suatu istilah baru dapat diciptakan berdasarkan pertimbangan: bentuk, proses, material/bahan dan ukuran/skala. Bentuk dan proses yang sama namun memiliki perbedaan ukuran yang “mencolok” dapat diklasifikasikan secara berbeda. Contoh teranyar adalah masuknya istilah Tiankeng untuk merujuk pada doline yang sangat besar. Bentuk cembung di permukaan, dengan ukuran dan bentuk yang sama namun berbeda proses juga dapat diklasifikasikan berbeda. Ini akan memudahkan Anda apabila pada suatu kelas filsafat ada yang mempermasalahkan “kenapa ini meja dan kenapa itu bukan meja?”. Tak perlu mundur terlalu jauh untuk masuk ke diferensiasi forma, idea, dan substansi ala Plato dan Aristoteles, cukup lah dijelaskan berdasarkan pertimbangan di atas atau sergah dia mengenai apa pentingnya mempertanyakan hal tersebut karena pada akhirnya ia hanya membuat proses berpikir filsafati menjadi tidak relevan.

Begitulah bahwa bahasa adalah jembatan utama antara apa yang ada di dalam idea kita dengan fenomena yang ada di dunia. Masih ada banyak sekali entitas-entitas yang tidak terjembatani baik fenomena yang ada dengan istilah maupun apa yang ada di pemikiran kita dengan fenomena yang ada di dunia ini. Tak perlu risau, pelan-pelan saja melangkah.

Itu satu hal, ini hal yang lainnya.

Selain pemahaman abstrak atau kesulitan memhami istilah baru, yang menjadi kelemahan berikutnya adalah kurangnya apresiasi. Ini kita sudah mafhum, sedari kecil secara sadar atau tidak kemampuan apresiasi kita terhadap dunia sudah dibelenggu dan dihimpit. Kita tidak pernah diajarkan betapa indah dan menyenangkannya dunia ilmu pengetahuan yang sebenarnya. Salah satu faktornya jumlah mata pelajaran kesenian yang sangat terbatas dan itu pun diisi oleh materi dan kegiatan kreasi, bukan apresasi. Saya membayangkan bahwa mestinya dalam setiap peajaran kesenian kita diberikan satu karya untuk kemudian diapresiasi bersama bukan Cuma diisi kegiatan melukis dan membuat prakarya.

Hal tersebut saya pikir berujung pada impotensi teman-teman kita menangkap keindahan dari suatu fenomena. Contoh lainnya adalah pelajaran matematika dan fisika. Kita dijejali betapa mengerikannya dan terkenal sekali bahwa kedua hal tersebut menjadi momok yang menakutkan. Padahal, apabila kita melihat dan merasakannya, keduanya menawarkan keindahan yang tersembunyi. Sejenak saja, jika berkesempatan, cobalah Anda melihat grafik sinusoidal atau grafik tangensial dan resapi keindahannya. Saya pernah mendapatkan momen seperti ini ketika ujian akhir Fisika Reaktor Nuklir. Di akhir ujian saya ingat betapa 4 lembar kertas jawaban saya yang penuh berisi persamaan diferensial dan pemodelan menjadi suatu keindahan tersendiri terlebih saya tidak ditakdirkan dapat menciptakan bentuk dan rupa.

Atau semisal butuh bentukan lain, Anda bisa iseng browsing teori fraktal dan bentukan Mandelbroit Set lalu resapi keindahannya. Jika memang Anda tidak menangkap keindahannya, maka terbukti kemampuan apresiasi Anda dimatikan sedemikian rupa sehingga Anda perlu menghidupkannya kembali, sama seperti saya. Sungguh, pesan saya untuk Anda bila besok Anda diminta menyampaikan keilmuan alam kepada siapapun, teman atau anak Anda, mulailah dari mengajaknya untuk mengenali keindahannya terlebih dahulu baru bicara logikanya.

Dalam suatu esainya, Karlina Supelli menyatakan bahwa suatu rasionalitas dan logika akan selalu dibangun di atas dan menginternalisasi keindahan di dalamnya. Beliau mencontohkan bagaimana Paul Dirac membuat model berdasarkan keindahannya dulu untuk kemudian baru ditemukan verifikasinya. Demikian bagaimana bahasa dalam keilmuan juga memegang peranan penting. Dalam ilmu-ilmu kualitatif penggunaan keindahan bahasa menjadi salah satu faktor utama untuk juga dapat mencintainya. Salah satu contohnya adalah judul penelitian Harry J. Benda yang berjudul The Crescent and the Rising Sun. Indonesian Islam under the Japanese Occupation 1942–1945 dimana Benda menggunakan metafora untuk menjelaskan islam (crescent) dan jepang (rising sun) atau yang lebih populer tentu saja buku-buku karangan Soe Hok Gie: Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan dan Dibawah Lentera Merah. Mereka adalah orang-orang yang sanggup menggunakan sastra dalam karya ilmiahnya.

Sayangnya, lagi-lagi sayangnya, segala macam keindahan itu dianggap sebagai musuh bagi sistem pendidika kita.  Barangkali memang kita manusia tak perlu lagi keindahan. Semoga tidak.

scriptammanent

Malum Physicum

Dan engkau akan melihat gunung-gunung, yang engkau kira tetap di tempatnya, padahal ia berjalan (seperti) awan berjalan. (Itulah) ciptaan Allah yang mencipta dengan sempurna segala sesuatu. Sungguh, Dia Mahateliti apa yang kamu kerjakan. (An-Naml [27]:88)

Saya memulai tulisan ini dengan sedikit banyak kegeraman yang menggumpal di kepala saya dan mencoba menumpahkannya lewat jari-jemari. Sebab itu, barangkali Anda akan menemukan bahwa tulisan ini kurang bernas karena bawaan emosi yang sedikit banyak mewarnainya. Ini adalah tentang bencana yang lagi dan lagi, kembali, dan terus menerus menghancurkan dan meluluhlantakan berbagai fungsi dan struktur kehidupan teman-teman dan masyarakat di berbagai tempat. Selama 3 bulan lampau, rasanya setiap bulan, saya tidak bisa bernafas lega karena beruntun dan beturut-turut dibanjiri informasi bencana yang bisa dikatakan terjadi setiap bulannya dan menelan korban jiwa serta kerusakan yang besar pula. Untuk awalan, izinkan saya, dengan segala kerendahan hati dan kesederhanaan mengucapkan simpati dan mengirimkan solidaritas kepada mereka yang terdampak.

Berturut-turut: Gempa Lombok, Gempa Palu – Sigi – Donggala, Tsunami Anak Krakatau, Longsor Sukabumi, dan yang terbaru adalah Banjir Sulawesi Selatan. Silahkan Anda periksa data dan faktanya di dunia maya begitu banyak informasinya tersedia. Masing-masing dari bencana tersebut membawa kerusakan dan dampak yang besar, ribuan orang tewas atau hilang dan puluhan ribu lainnya harus mengungsi atau setidaknya terdampak kesehariannya.

Apa yang menjengkelkan adalah, dan tentu saja ini ditujukan untuk seluruh pihak, bagaimana seluruh kejadian tersebut pada dasarnya sudah diketahui dan disadari risikonya. Sesar Palu-Korro sudah terang benderang melewati Kota Palu dan karenanya, ia sangat jelas terpapar oleh pergerakan muka bumi. Anak Krakatau, lewat pemetaan dan modelling juga sudah diketahui memiliki cekungan yang berpotensi menimbulkan tsunami jika terjadi longsoran. Untuk bencana hidrometeorolgis seperti banjir dan longsor, juga sudah dijelaskan, bahkan tampaknya berada di tataran akal sehat bahwa penebangan dan alih fungsi lahan akan menyebabkan meningkatnya risikonya.

Dalam hal ini, saya mau mengajukan pertanyaan lain. Saya pikir narasi-narasi kebencanaan mulai dari dinafikannya sains, perihal kebijakan yang tidak memperhitungkan bencana, mitigasi, hingga narasi dikangkanginya pengetahuan tempatan mengenai bencana sudah banyak beredar. Sungguh, kesemuanya perlu diseriusi dengan sunggug-sungguh. Namun demikian, saya pribadi enggan berspekulasi dan berandai-andai bagaimana bila memang ternyata seluruh upaya mitigasi sudah dilaksanakan. It happens as it happens, namun tentu saja lebih arif jika kemudian pengandaian itu kita arahkan kepada suatu upaya pembelajaran. Baiklah.

Saya mencoba menggeser perspektif saya ke ranah yang sebelumnya juga tengah saya tuliskan di blog ini: perkara teodise. Jika sebelumnya saya mengajukan pertanyaan mengenai mengapa kejahatan terjadi, kali ini saya akan mengajukan setengah pertanyaan sisanya. Mengapa kemudian, dalam konteks teologi, Tuhan membiarkan adanya bencana yang melahirkan penderitaan. Bencana dan penderitaan pada dasarnya dipisahkan dari perkara kejahatan. Apa sebab? Kejahatan disebabkan oleh manusia dan bersumber dari perbuatan dan tindakan yang dipilihnya. Kata dipilih disini perlu digarisbawahi sebab kejahatan yang hakiki terjadi dengan kesengajaan dan dilakukan dengan mengacuhkan suara hati. Etika masih memberikan ruang-ruang pengampunan bagi kejahatan yang terjadi sebagai akibat kelemahan manusia yang seringkali tidak mampu mengontrol nafsu dan emosinya. Tuhan tahu kita memiliki keterbatasan dalam mengalahkan diri sendiri karena itu Ia mendesain Bang Napi untuk menjelaskan bahwa “kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelaku, tapi juga karena ada kesempatan”.

Penderitaan lain dengan kejahatan. Penderitaan ada dan berasal dari hal-hal di luar diri manusia: mekanisme alam yang sifatnya objektif. Hal-hal tersebut hampir mustahil dapat dikontrol, dikendalikan dan dikuasai oleh manusia. Salah satu sumber penderitaan adalah bencana alam: gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, dan lain sebagainya.

Kembali ke pertanyaan dalam Paradoks Epikurus, mengapa kemudian, bila ada Tuhan yang maha pengasih dan maha melakukan, bencana tersebut terjadi?

Bahwa planet yang kita tinggali ini hanyalah satu sub-entitas maha besar yang terkadan sifatnya transenden sehingga untuk menjangkau ujung dan batasannya kita hanya bisa mneggunakan spekulasi-spekulasi metafisik dan disanalah barangkali kita kemudian dapat menjumpai Tuhan. Karena itu, kehidupan dan seluruh mekanisme yang berada di bumi tunduk di bawah hukum fisika sebagai konsekuensi bagian dari kesempurnaan konstelasi semesta kreasi Tuhan. Satu pertanyaan kecil yang dapat diajukan adalah apakah kemudian alam semesta ini diciptakan dengan ketidaksempurnaan bawaan sehingga, dengan segala aturan yang dan kecacatan dunia yang ada ini, lahir lah kejahatan. Kitab suci tidak sependapat. Dalam Kitab Kejadian, Allah melihat bahwa segala yang diciptakannya baik dan Ia puas dengan hasil kerjanya. Dunia ini sesempurna yang Ia inginkan.

Saya sendiri lebih suka berhadapan dengan Tuhan yang mampu saja karena kemudian kita akan berurusan dengan mengapa Tuhan tidak mau menghapusnya? Perkara ini lebih mudah dikarang-karang. Alasan pertama adalah karena penderitaan pada dasarnya membawa kebaikan. Lewat bencana kita disadarkan dengan adanya solidaritas, rasa kekeluargaan dan persaudaraan satu sama lain. Penderitaan juga melatih dan membuat kita tahan uji serta semakin merasakan kebesaran Tuhan sang pengatur dan sang pencipta. Begitu lah singkatnya.

Kita kemudian tahu, secara singkat bahwa dunia yang diisi dengan penderitaan pada dasarnya lebih baik ketimbang dengan dunia tanpa penderitaan, silahkan direnungkan dan dipetik pelajarannya. Yang kemudian menjadi pertanyaan berikutnya adalah: oke, so what?

Tuhan boleh jadi menciptakan bencana dan penderitaan sebagai ruang dialog dengannya juga sebagai kawah candradimuka tempat manusia menempa dirinya. Kita diberi akal budi dandiberikan penderitaan sekaligus untuk dapat terus berpikir dan menjadikan bencana tersebut asupan untuk mengisi tantangan dan penderitaan yang lebih nyata: kekosongan dan kehampaan hidup. Itu sebabnya, bencana dan manusia sebagai pihak yang terpapar olehnya harus terus berlomba. Di satu sisi, manusia harus dapat menemukan cara untuk menghadapinya lewat penalaran dan kemudian menerimanya dengan kebijaksanaan dan dengan rasa besar hati.

Dunia ini, diciptakan dan didesain dengan penuh perhitungan dan rasionalitas. Lebih daripada tempat tinggal, dunia ini adalah taman bermain yang menyajikan berbagai wahana, atraksi dan pertunjukan yang luar biasa. maka keluar lah, tinggalkan segala beban Anda dan berlarilah telanjang, melihat dan mengamati lalu berpikir. Jika Tuhan memang menciptakannya, maka ia menciptakan dunia ini untuk kita. Bagaimanapun, segala yang baik berasal dari Tuhan sedangkan yang buruk adalah berasal dari kita. Bagi Anda yang terkena bencana dimanapun Anda berada, semoga segalanya menjadi lebih baik setelah ini.

Ini postingan paling normatif yang pernah saya tulis. Silahkan kutip untuk motivasi dan materi khotbah.

Scriptammanent.

Malum Tabula

God is dead. We kill Him.

Saya rasa manusia telah melewati sejarah yang berdarah-darah untuk sampai kepada momen dimana mereka akhirnya menjadi penguasa. Pada penggal masa awal abad ke 19, manusia menyaksikan diri mereka sendiri melesat jauh meninggalkan segala sesuatu, struktur-struktur, ideologi, fungsi, dan paradigma yang mereka bina dan jalani selama bermilenium-milenium lamanya. Salah satu puncaknya dimulai dari revolusi industri dan sains yang pada akhirnya, secara singkat, yah keluar lah pernyataan bahwa Tuhan telah mati, kita manusia yang membunuhnya. Nietzsche yang mengatakannya. Saya tidak mau membahas penggal waktu kala itu, sudah banyak ulasan yang saya tulis di berbagai post sebelum ini. Apa yang mau saya tulis di postingan ini adalah mengapa dan bagaimana konsekuensi kematian Tuhan itu. Kenapa saya menulisnya? Karena postingan sebelumnya saya coba merefleksikan posisi Tuhan dalam moralitas maka di tulisan ini saya coba memposisikan Tuhan dalam fungsi kehidupan manusia berikutnya: pemberi makna.

Yuval Noah Harari, salah seorang penulis aduhai bagi saya mempunyai dua tesis yang menurut saya cukup merepresentasikan kondisi manusia masa kini. Tesis pertama adalah: “human agree to give up meaning in exchange of power” sedangkan tesis keduanya adalah “Homo deus: manusia kini menjadi Tuhan bagi dirinya sendiri”.

Pemaknaan, refleksi, dan mengartikan hidup sudah, sedang, dan akan terus menjadi berkah serta kutukan manusia. Manusia berpikir dan memiliki akal untuk mempertanyakan segala sesuatunya, like literally, everything. Hal tersebut tentu saja sungguh ampuh karena darinya kita akhirnya bisa merasakan kenyamanan dan dapat mengontrol serta mengatur alam semesta untuk memenuhi kebutuhan dan memuaskan keinginan kita namun juga seringkali dan lebih seringnya, kemampuan itu menyusahkan belaka. Ke’kepo’an manusia terkadang sebegitu besarnya hingga mereka menciptakan pertanyaan dan mendesain permasalahan di luar kapasitas mereka untuk menjawabnya. Pertanyaan dan permasalahan seperti: apa guna hidup?”, “kenapa manusia diciptakan?”, “apa ada kehidupan di luar sana?”, “siapa Tuhan sebenarnya?”, “apa itu kebenaran?” begitu mengganggu.

Toh mereka hidup dan tumbuh berkembang bersama manusia. Pertanyaan dan keresahan kita menjadi sahabat sejati (kedua setelah sahabat anjing kita saya pikir. damn, we don’t deserve dogs) manusia selama berabad-abad. Seperti layaknya makhluk, pertanyaan dan keresahan manusia juga lahir, tumbuh, saling kawin mawin, dan melahirkan keturunan berupa pertanyaan yang kontekstual pada zamannya. Dalam menghadapi dan berjalan bersamanya, manusia juga mengembangkan berbagai alat dan media untuk sekurang-kurangnya, kalau tidak dapat menjawab dan menyelesaikannya, menunda dan mengurangi keresahan sebagai akibat darinya. Itu normal belaka.

Maka mereka menciptakan mitologi. Tuhan salah satunya.

Ketika Bangsa Viking melihat ada petir menggelegar, mereka bertanya di dalam ketakutan dan keresahannya: “apa gerangan itu?  Bagaimana ia bisa tercipta”. Sejauh apa yang mereka lihat dan amati, satu hal yang dapat mereka gunakan untuk menjawabnya adalah ada sosok berbentuk manusia lain namun berada di angkasa dan mengontrolnya. Maka lahir lah Thor. Suatu warisan sangat berharga karena kini saya dapat melihat aksinya dalam salah satu adegan paling keren di semesta marvel. Contoh ini merupakan upaya manusia untuk pada awalnya merasionalisasi segala apa yang mereka lihat. Setelah itu, mereka akan masuk ke dalam level super atau supra: menjadikan rasionalisasi itu sebagai suatu bentuk ideal.

Idealitas, bisa kita runut kembali ke konsep Plato adalah Das Sollen. Bentuk yang seharusnya. Manusia dimanapun pasti memiliki kehendak, nilai, dan bentuk yang seharusnya. Aku seharusnya kaya, aku seharusnya bahagia, aku seharusnya bersama dia. Bentuk-bentuk seharusnya itu yang menjadikan, setidaknya, manusia memiliki tujuan hidup, ada sesuatu yang ingin dituju. Sebab itu, kebudayaan Jawa menyebutkan adanya konsep Manunggaling Kawula Gusti. Manusia, diciptakan untuk bersama dengan Gusti pada akhirnya di dalam kerangka sangkan-paran nya. Gusti atau Tuhan merupakan konsep ideal dan manusia pada akhirnya akan berlabuh dan menuju kepadanya. Dari sini kita tahu, bahwa Tuhan hadir atau setidaknya dihadirkan untuk menentukan hidup manusia, menjadi arahan dan sebab musabab kehadiran serta segala kersahan kita.    

Sayangnya atau untungnya, manusia kemudian terhenyak dan dengan segala pengetahuannya menciptakan kesadaran bahwa ia berdaulat. Ia, pada dasarnya tidak membutuhkan Tuhan untuk menciptakan makna bagi mereka sendiri. Manusia bisa secara mandiri menciptakan, mengubah, dan merusak makna-makna dan nilai yang tadinya dibuat oleh Tuhannya. Oleh sebab itu, mereka memberontak dan melepaskan diri dari belenggu Tuhan yang mendikte dan mengatur nilai-nilai sebab manusia pada dasarnya bisa melakukannya. Tidak perlu lagi ada Tuhan.

Namun demikian, semangat tersebut perlu dimaknai secara lebih dalam.

Dalam kesehariannya, manusia dijejali oleh konsep agama dan keTuhanan semenjak dini. Bahkan sebelum mereka keluar dari rahim ibunya, mereka sudah disuntik konsep-konsep ketuhanan. Tak jarang saya menjumpai ada orang tua yang menempelkan speaker ke perut istrunya yang tengah mengandung dan memperdengarkan ayat-ayat atau audio keagamaan dan keTuhanan. Ketika lahir, bahkan sebelum mendapatkan kesadaran dan jati diri yang ajeg, manusia-manusia awal itu sudah diberikan Tuhan dan berbagai manifestasinya. Hal tersebut tentu saja baik kalau menurut orang tuanya baik, siapa saya yang menghakimi? Maka demikian, semenjak kecil, dalam keseharian kita, kita sudah dimanja betul dengan konsep-konsep keTuhanan. Tak perlu berfikir tentang makna penciptaan, kita sudah punya Tuhan sebagai jawabannya. Tak perlu berpikir soal bagaimana pelangi tercipta, kita sudah tahu siapa yang melukisnya. Tak perlu berpikir soal apa tujuan hidup, kita sudah tahu kemana kita menujua. Bahkan, kalau mau sesuatu, yeps, kita tahu kepada siapa kita harus meminta: berdoa lah sekeras-kerasnya.

Hal tersebut sudah mendarah daging semenjak kejatuhan (verfallen) kita. Dalam konteks Heidegger, pada suatu ketika kita akan mendapatkan kejutan eksistensial berupa angst. Di titik itu, kita akan mulai mengakses sang Ada dan terkejut karenanya. Dalam momen itu, segala keseharian yang biasa kita terima sebelumnya akan dipreteli seluruhnya termasuk konsep-konsep dan Tuhan yang menyertai kita. Kita mulai membunuhi Tuhan kita. Kaum beragama punya istilah yang ampuh: krisis iman. Solusinya pun sangat sederhana dan mudah: pergiat ibadahnya sampai kamu lupa. Namun seperti kita tahu, teman-teman yang baik, bilamana Anda memiliih untuk tidak lagi menjadikan Tuhan sebagai sandaran Anda, segalanya menjadi berkali-kali lipat lebih sulit.

Tanpa Tuhan, kita akan berhadap-hadapan dengan fenomena berikutnya: absurditas hidup. Segalanya tampak tak terjawab dan sungguh tidak masuk akal. Adanya kejahatan, debu kosmik, evolusi, kelahiran, ovulasi, ikan di laut, politisi korup, bencana, mitos menjadi tidak masuk akal dan karena tidak masuk akal, ia menjadi sesuatu yang menakutkan. Mereka menelan diri kita masuk ke dalamnya dan kita dihadapkan pada kegelapan den kelimbungan bahwa segala sesuatu di hidup ini tidak lebih dari kebingungan jahanam.  Begitu parahnya, sampai-sampai kemudian kita berpikir mengapa tidak kita akhiri saja kebingungan ini sekalian dengan hidup-hidupnya sekalian.

Disini kita perlu lagi berpikir.

Ketika Tuhan kita bunuh, kita perlu lari kepada kedaulatan kita sebagai manusia yang merdeka dan mampu berpikir sendiri. Seringkali, manusia dengan begitu mudahnya berhenti pada suatu titik dimana mereka kehilangan makna dan menyerah. Ya, menyerah. Mereka berpendapat bahwa di tengah lautan absurditas hidup ini tidak ada lagi yang dapat dipegang. Mereka lupa untuk segera berenang, sendiri.

Nietzsche memang memvonis bahwa makna dunia ini pada dasarnya nihil. Namun karena nihil tersebut maka menjadi tugas dan berkah manusia untuk mengisinya sesuai dengan apa yang mereka mau. Begitulah namun demikian, ada manusia yang malah memilih untuk mengisiya dengan kekosongan belaka atau meninggalkannya tidak terisi. Entah karena malas atau manja atau memang tidak mampu. Ada juga manusia yang karena perkara kesehariannya: ribut dengan kelurarga, gagal dalam pekerjaan, diputusi pacar kemudian mem by pass permasalahan keseharian tersebut dengan kesadaran eksistensial. Sesuatu yang barang tentu sangat berbahaya karena, selain mereka akan mendekadensi makna eksistensial, permasalahan kesharian menjadi kehilangan relevansinya dan teramplifikasi menjadi tingkatan yang tidak seharusnya. Jalan apa pun yang nantinya Anda pilih, apakah Anda masih mau menggunakan Tuhan atau tidak dalam keseharian dan pengalaman eksistensial Anda baik adanya. Saya mendukung penuh Anda untuk itu. Bagaimanapun, pergulatan manusia dengan makna hidupnya adalah keniscayaan dan tidak perlu sombong serta berbangga diri karenanya.

scriptammanent

Malum Morale

Saya kembali membuka satu hal yang dulu pernah saya gandrungi: Paradoks Epicurus. Kali ini, rasa-rasanya saya dapat lebih dalam mebahas dan membngkar konsep di balik paradoks yang sungguh elok pada masanya itu dan masih kontekstual pada masa kini, setidaknya bagi mereka yang kurang sibuk dan malah bertanya-tanya soal hakikat moralitas dan keberadaan kejahatan serta penderitaan.

Baik, saya paparkan dulu isi paradoksnya. Paradoks Epicurus berangkat dari premis bahwa kejahatan dan penderitaan itu ada yang kemudian diisi oleh pertanyaan mengapa kejahatan itu sampai ada jika kita punya Tuhan yang maha mampu dan maha baik? Apakah Ia tidak mau menghapusnya? Maka Ia tidak baik. Apakah Ia tidak mampu menghapusnya? Maka Ia tidak maha kuasa. Apakah Ia mampu dan mau menghapusnya? Maka mengapa kejahatan dan penderitaan tetap ada?

Sungguh luar biasa.

Sebelum masuk ke substansi paradoksnya, saya mau menyampaikan bahwa Tuhan kita, iya Tuhan yang itu tuh adalah sasaran paradoks paling empuk. Mengapa demikian? sebab, secara ontologis dan epistemologis, keber’ada’an entitas itu beserta turunannya sudah membingungkan. Sebegitu membingungkannya sehingga eksaminasi dan spekulasi level tinggi akan berhenti pada suatu titik dimana premis mutlak agaknya mustahil dicapai. Maksudnya adalah, kita tidak dapat memuat kesimpulan bahwa Tuhan itu Ada atau Tuhan itu Tidak Ada. Itu pun masih belum ada eksaminasi untuk hakekat ‘Ada’ yang melekat padanya. Dengan segala kemelut itu, jadi lah Tuhan kita begitu lentur dan mengundang untuk dijadikan paradoks.

Yang jelas, kalaupun ia memang tidak ada maka kita harus membuatnya ada (“if God doesn’t exist, then it is necessary to create Him” – Voltaire). Akan ada lebih banyak, jauh sekali lebih banyak kemudahan dalam hidup jika Tuhan itu ada. Kalaupun Ia memang secara absolut ada, maka Ia berada di luar segala nalar dan rasionalitas manusia.

Begitu lah, Romo Magnus-Suseno berpesan bahwa dalam menyebutkan entitas Tuhan, kita perlu berjalan pada dua koridor. Pertama adalah koridor positif dimana setiap premis yang ada dibangun diatas afirmasi dan konfirmasi: Tuhan itu Mahabaik, Mahapengasih, lagi Mahasempurna. Koridor kedua adalah koridor negatif bahwa Tuhan tidak lah seperti ini atau seperti itu. Hinduisme mengenalnya sebagai niti-nata, bukan begini juga bukan begitu atau seperti orang jawa bilang ngono yo ngono ning ora ngono. Keduanya harus digabungkan menjadi satu untuk setidaknya dapat membantu kita mendefinisikan entitas Tuhan tersebut secara cukup meyakinkan.

Baik, begitu dulu saja sudah mari masuk.

Salah satu upaya untuk membuktikan secara ontologis Tuhan itu “ada” adalah lewat epistemologi kejahatan dan penderitaan. Tuhan didekati sebagai suatu landasan dan fondasi moral yang mantap. Mengapa ini digunakan? Sebab moralitas adalah pengalaman absolut manusia sehari-hari yang, karena itu, nyata adanya dan dapat diperdebatkan secara obyektif. Pengalaman dan fenomena moral tersebut menjadi salah satu jalan untuk menuju kepada Tuhan yang merupakan sumber moral tertinggi.

Argumentasi tersebut juga bisa ditawar dengan menyatakan bahwa moralitas adalah konstruksi dari masyarakat dan negara dengan segala aparatusnya. Namun demikian, ada fakta bahwa bayi yang baru lahir dan belum memiliki kesadaran konstruktif apapun sudah memiliki kompas moral untuk membedakan apa yang baik dan buruk secara moral. Kita sudah dipersenjatai insting untuk dapat hidup dengan ‘baik’ sesuai dengan kesepakatan bersama dan di sana lah, Tuhan hadir. Begitu kira-kira. Anda juga boleh mengkritisinya dengan membongkar kembali apa yang disebut sebagai moralitas dan pa yang mendasarinya: rasa nyaman dan menyenangka (hedonisme) atau kebermanfataan (utilitarianisme). Kupas terus dan niscaya Anda akan sampai kepada Tuhan sebagai fondasi moral sebagai penghabisan.

Lantas jika ia memang merupakan sumber moral tertinggi, bagaimana bisa ada kejahatan? Untuk menjawabnya, lagi-lagi kita perlu bertanya bagaimana kejahatan itu bisa ada? Apakah ia hadir by purpose atau by consequence? Keduanya akan menghasilkan pendapat yang berbeda. Jika Ia lahir dengan maksud dan tujuan tertentu, maka kita tinggal mempertanyakan apa maksud dan tujuan ia di’ada’kan. Pada tataran ini, Sang Penciptanya mesti punya kehendak dalam membuatnya ada. Kita bisa mengambil ini dari basa-basi di kitab suci: untuk menguji manusia, untuk membuat hidup manusia berwarna, mengajarkan rasa syukur, dan bla bla bla lainnya. Intinya, kalau memang kejahatan sengaja diciptakan ia diciptakan semata-mata juga untuk kebaikan. Saya sendiri lebih suka membayangkan Tuhan menciptakan kejahatan dan penderitaan untuk mengingatkan bahwa Ia ada dan manusia, sebagai ciptaanNya harus tetap tunduk padaNya. Penegasan ini penting karena sebagai Tuhan yang mencipta, Ia harus tetap memastikan dirinya ada. Sampai sini, itu adalah motivasi yang manusiawi, bisa diterima.

Lalu bagaimana jika kejahatan dan penderitaan hadir sebagai konsekuensi? Ia ada sebagai akibat tak terelakan dari sistem semesta yang diciptakan oleh Tuhan. Ini perlu diawali dengan mengajukan pertanyaan paradoksal lain: sebagai entitas yang Mahamencipta, sanggupkah ia menciptakan semesta yang sama sempurnanya seperti diriNya? Jika tidak sanggup maka ia tidak mahapencipta, jika sanggup maka sebaiknya kita menyembah semesta ciptaanNya saja. Di titik ini saya pikir Tuhan menciptakan semesta yang kurang sempurna dari dirinya sendiri agar Ia dapat terus hadir secara aktif. Penciptaan sendiri merupakan suatu proses yang kontinyu, bukan fenomena diskrit yang hanya terjadi satu kali. Sampai pada detik ini, Tuhan masih menciptakan semesta dan terus aktif hadir dalam keseharian kita, lewat berbagai fenomena yang ditangkap oleh hati nurani. Setidaknya sampai sains secara memuaskan dapat menjelaskan dari bagian tubuh mana kesadaran dan kompas moral kita berada dan mekanisme apa yang menyertainya.

Selain itu, sebagai konsekuensi maka ketidaksempurnaan alam semesta ini meninggalkan bercak dan lubang disana sini yang kemudian diisi oleh penderitaan dan kejahatan. Hal tersebut juga hadir sebagai konsekuensi dari lemahnya manusia yang disebabkan oleh, yah, ketidaksempurnaannya. Kita, manusia, sering sekali takluk di bawah berbagai godaan seperti harta, tahta, dan wanita. Kita lemah dan bahkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti ini saja kita tidak mampu, seringnya tidak mau.

Saya tidak mau menyimpulkan apa-apa dari tulisan ini karena lagi-lagi, tulisan saya kembali memunculkan lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban. Akhirul kalam, segala paradoks dan tinjauan kritis ateis menurut saya belum dapat meruntuhkan keberadaan Tuhan sebab, jikapun Ia memang tidak hadir secara mutlak, ia hadir secara konstruktif dan dibangun di atas kesadaran dan kebutuhan manusia untuk menjalani kehidupan mereka. dengan itu, Tuhan Ada. Yang ditantang oleh paradoks dan argumentasi kritis adalah Tuhan yang dikonsep dan dikerangkeng di ajaran agama-agama. Saya menemukan lebih banyak celah pada Tuhan yang berasal dari agama-agama dibanding dari teologi. Demikian sehinggan, bagi saya berTuhan tanpa agama menjadi semakin relevan dari hari ke hari. Akui saja, agama hanya sebatas produk budaya yang kini dimanipulasi untuk kepentingan identitas dan penindasan. Tuhan barangkali juga tidak berkenan, makanya Ia mulai mempertimbangkan untuk memilih mereka yang tidak percaya padaNya. Semoga kita diberi rahmat dan karuniaNya. Sabbe satta bhavantu sukhitatta.

scriptammanent   

Voluntaris (iii)

Saat ini, lini masa media sosial tengah ramai oleh suatu kesadaran yang saya pikir harusnya sudah dihembuskan bertahun-tahun lampau: kosensi seksual. Dalam melakukan segala tindakan seksual, dua pihak harus berada dalam keadaan yang sama-sama sadar dan memang menginginkannya. Sederhananya jika salah satu pihak tidak berada dalam kondisi demikian maka yang terjadi adalah pelecehan atau pemerkosaan. Sederhana namun sangat mengena dan kini para warganet yang terhormat begitu getol mengkampanyekannya. Baik untuk mereka, baik untuk kita. Terima kasih.

Tapi bukan itu yang saya ingin perbincangkan. Kosensus kedua pihak silahkan menjadi urusan Anda dengan pasangan Anda dimanapun Anda tengah bahagia berada. Apa yang ingin saya tekankan adalah kosensus pihak ketiga dari perbuatan seksual yang Anda lakukan. Yah, kita tahu bahwa di dalam ruang-ruang tempat Anda bercinta dan memadu rasa, akan ada yang lain yang juga harus Anda pertimbangkan dampaknya ke mereka. Siapa saja? Tuhan atau masyarakat atau, ini yang saya rasa cukup menantang untuk dibahas, anak Anda kelak.

Satu bahasan atau pertanyaan yang saya pikir cukup menarik untuk dibahas adalah: “mengapa saya dilahirkan? Bagaimana jika seandainya saya tidak ingin dilahirkan?”. Sungguh elok! Jika Anda belum pernah memikirkannya , ketahuilah bahwa pada suatu kesempatan nanti, Anda anak dengan segala bakat dan karunianya akan menyimpan pertanyaan tersebut dan barangkali mengungkapkannya kepada Anda. Si kecil Icha yang berusia 5 tahun dan berencana masuk TK, pada suatu pertemuan keluarga boleh jadi akan berujar “aku tidak pernah meminta untuk dilahirkan, kenapa juga kalian memaksaku untuk tetap bertahan dan hidup?”. So cute, kawai.

Begitulah, dalam benak orang yang menanyakan pendapat itu boleh jadi berpikir bahwa sebelum terjadi ovulasi, Anda perlu menanyakan kepada sperma atau sel telur Anda: “bersediakah kalian saling membuahi?”  

Hidup, dalam satu perspektif, terutama sekali perspektif agama dan motivator Anda harus dimaknai sebagai suatu anugerah dan karunia karena keindahannya. Saya tekankan: harus. Kenapa harus? Saya juga tidak tahu. Sebentar saya googling dulu.

.

.

.

Baik. Jadi menurut ayat kitab suci (agama kristen), hidup berasal dari Tuhan sehingga, karena ia berasal dari Tuhan harus dirayakan sebagai anugerah dan berkat. Kemudian karena hidup ini adalah milik Tuhan maka kita harus hidup demi Tuhan dan untuk menyenangkan hatiNya (1 Samuel 1:5-6, 19-20). Begitu lah, barangkali sama seperti cobaan dan godaan yang berasal dari setan yang juga berasal dari Tuhan sehingga bagaimanapun ia harus dimaknai sebagai anugerah. Sangat optimistis dan penuh motivasi. Pandangan ini selaras belaka dengan pendapat yang mengatakan bahwa dunia ini dan kita semua adalah wayang yang dikendalikan oleh sang dalang di belakang layar. Percaya atau tidak itu terserah Anda.

Sementara lain, saya mengutip pandangan yang lebih pesimistis: tidak ada maksud dan tujuan dari hidup ini, segalanya terjadi karena kebetulan belaka saja. Ini untuk kalian, orang-orang yang tidak suka hidupnya dicampuri oleh entitas transenden basa-basi macam Tuhan. Siapa yang bisa mengatur bagaimana pembuahan terjadi, sperma yang mana yang akhirnya membuahinya? Semua terjadi serba kebetulan belaka. Pandangan fatalis lain mengatakan bahwa hidup ini pada dasarnya adalah samsara, penderitaan belaka dan merupakan kolam hukuman bagi mereka yang melakukan tindakan buruk pada kehidupan sebelumnya. Pesimistis, namun saya lebih suka.

Bagaimanapun, memahami posisi dan konteks kehidupan akan mendorong dan membantu Anda mengkaji makna kehidupan Anda dan menemukan jawaban mengapa Anda dilahirkan. Sebagai catatan, jika Anda percaya ada entitas transendedn atau Tuhan yang mengaturnya, maka Anda saya sarankan berhenti membaca tulisan ini disini dan segeralah bertobat memohon pengampunan. Semoga Tuhan mengampuni Anda karena malas menggunakan akal dan bertanya. Bagi Anda yang mencoba melangkah melewati garis sedikit, mari kita lanjutkan. Jawabannya sederhana menurut saya: orang tua Anda tengah birahi kala itu sehingga Anda tercipta. Tuhan menghendakinya karena orang tua Anda birahi atas seizinnya lewat pernikahan dalam institusi agama Anda, setidaknya itu yang perlu kita percaya. Namun jikalau demikian, bagaimana anak yang lahir dari pembuahan di luar institusi pernikahan atau institusi pernikahan di luar agama? Berkenan kah Tuhan padanya?  

Agaknya tulisan ini semakin banyak mengemukakan pertanyaan ketimbang menyediakan jawaban, saya jadi semakin senang.

Dilahirkan dan bertahan hidup, bagi saya adalah dua hal yang berbeda. Anda boleh dilahirkan dengan segala keyakinan akan kebetulan, aksiden dan ketidaksengajaannya namun perkara Anda bertahan hidup dan dibesarkan hingga detik ini itu bukan lah kebetulan. Kita boleh protes mengapa kita dilahirkan namun tidak dapat protes soal mengapa kita bertahan hidup sampai sejauh ini. Pembuahan dan proses hingga Anda dilahirkan saya pikir boleh jadi sudah dibayar lunas oleh orang tua Anda dengan membesarkan dan mendukung Anda untuk hidup. Sedangkan perkara mengapa Anda tetap hidup hingga detik ini bukan lah tanggung jawab orang tua Anda, secara tidak sadar Anda bertahan hidup.

Ini menuntun kita kepada pertanyaan moral berikutnya: “boleh kah kita, atas nama otoritas hidup, mengakhiri hidup kita?”. Kaum beragama sudah punya jawaban jelas: tidak boleh karena hidup kita milik Tuhan, ia dan hanya ia yang memiliki hak untuk mengambilnya. Namun perkaranya tidak sederhana bagi mereka yang menolak otoritas Tuhan atas dirinya. Apakah ada? Ada. Dan menjadi tidak sederhana karena solusi untuk itu tidak dapat hanya dengan meyakinkan orang-orang tersebut bahwa hidupnya milik Tuhan. Oh yah, sedikit anomali juga bagi orang-orang yang melakukan bunuh diri atas nama Tuhannya. Kaum halu.

Saya sendiri tidak sepakat untuk itu. Otoritas hidup boleh jadi memfasilitasi kita untuk sampai pada pertanyaan tersebut namun kita masih terbelit paradoks mendasar soal otoritas: permasalahan soal voluntaris dan yang determinis. Saya meyakini bahwa tidak ada dorongan instingsif dari dalam internal kita untuk melakukan bunuh diri kecuali untuk alasan altruistik dan kepentingan survivalitas spesies umat manusia. Mengapa demikian? tidak ada individu yang benar-benar bebas dalam menentukan otoritas atas tubuhnya. Ini yang menjadi permasalah moral mendasar pada masa kini karena terkait dengan perkara lainnya: aborsi. Apakah atas nama otoritas tubuh, seorang wanita berhak menghapuskan janin yang ada di perutnya?

Demikian sehingga, motivasi untuk mengakhiri hidup pada dasarnya berasal dari dorongan eksternal atau dari masyarakat. dan karena berasal dari luar diri Anda, ia bisa didialogkan dan diubah pendiriannya.

Segini dulu saja deh. Intinya, saya belum dan tampaknya sulit sekali menemukan landasan masuk akal untuk bunuh diri dan selama itu belum ditemukan, jangan coba-coba melakukannya.

scriptammanent

Voluntaris (ii)

Seharusnya saya melangkah ke bagian berikutnya: determinisme di postingan ini namun demikian, satu pertanyaan lain menyembul dan berakhir lah saya di topik ini kembali. Tak apa, tak ada yang memaksa bukan?

Sebelum masuk ke substansi, saya mau cerita kalau saya gembira sekali ketika mengetahui world_record_egg berhasil menjadi akun dengan foto jumlah like terbanyak di platform instagram. Sedikit banyak, ia kembali mengingatkan kita betapa internet dan apapun yang ada di dalamnya dan diwakilinya pada dasarnya arbiter dan tidak mengandung pretensi apa-apa. Sebutir telur, dengan sedikit sentilan di captionnya sanggup melampaui jumlah like romantisme kelahiran anak seorang selebgram kelas kakap. Bravo. Demikian.

Omong-omong soal romantisme kelahiran dan indahnya relasi materfil, mari kita isi postingan ini dengan pertanyaan yang saya singgung di awal: manusia lahir membawa apa?

Kristianitas punya dogma bahwa setiap bayi yang baru lahir (newborn) ditakdirkan untuk mebawa apa yang disebut sebagai dosa asal (original sin). Warisan ini didapatkan dari ulah Adam dan Hawa memakan buah terlarang waktu di taman eden dulu. Akibatnya harus ditanggung oleh seluruh anak-cucunya. Ya, termasuk kamu jika kamu meyakini keberadaan Adam dan Hawa. Pendapat lain, umumnya muncul kalau pemilu begini, berpendapat bahwa anak yang lahir menanggung hutang negaranya. Jumlahnya berbeda-beda di setiap negara itu pun terkadang masih ditambah beban hutang orang tua atau keluarganya kalau ada.

Dengan dua hal itu saja saya semakin tidak tega kalau anak saya harus dilahirkan. Bayangkan, belum tahu soal indahnya dunia dimana sebutir telur bisa mengalahkan jumlah like artis instagram saja, ia harus terbelit dosa dan hutang. Malang nian nasibnya. Sungguh, saya harus salut dengan para orang tua yang mempunyai optimisme terhadap anak mereka. Terima kasih.

Eniwei, di luar konteks itu, kita barangkali tahu bahwa terdapat dua kutub yang meyakini modal apa yang dibawa oleh seorang bayi yang baru lahir. Pendapat pertama dibawa oleh John Locke dengan konsep Tabula Rasa nya yang termahsyur: anak yang baru lahir seperti kertas putih, kosong dan siap ditulisi atau dalam konteks dunia saat ini, dicorat-coret dengan vandal baik secara literal ataupun metaforikal. Sementara, beberapa ajaran tradisional mengatakan bahwa bayi terlahir dengan membawa semangat dan nuansa kebaikan lalu dunia ini yang merubahnya menjadi jahat. Yang lain berpendapat bahwa bayi terlahir jahat, dunia ini lalu yang mengubahnya menjadi baik. Kita sudah membaca ini di postingan sebelumnya.

Yang manapun yang Anda yakini saya tidak peduli. Ambil saja pandangan yang terbaik dan paling optimistik bagi anak Anda, berikan yang terbaik yang Anda bisa sediakan baginya.

Bagaimanapun, satu catatan saya, bayi manusia adalah salah satu makhluk paling rapuh yang ada bila dibandingkan dengan spesies lainnya. Ia sangat butuh bantuan induknya dalam melakukan segala sesuatunya dan untuk memastikan itu, bayi memiliki senjata yang paling ampuh: keimutan (cuteness). Nyaris seluruh manusia dewasa sehat tidak dapat menyembunyikan reaksi kegemasannya ketika melihat miniatur manusia itu. Sebelum masuk ke hal yang abstrak seperti kepolosan atau kemurnian sebuah newborn, desain fisik bayi sudah cukup meyakinkan manusia dewasa lain untuk melindungi dan berkorban untuknya. Dahi lebar, mata besar, kulit putih, jaringan lembut berwarna merah muda sudah memberikan nuansa kelembutan yang tidak dapat Anda tahan. Tubuh fisik bayi juga sangat ergonomis untuk masuk ke dalam pelukan atau pangkuan manusia dewasa. Selain desain fisik, insting kita bekerja bahwa untuk melindungi keberlangsungan spesies kita lewat bayi yang baru lahir tersebut. Insting tersebut yang menghasilkan naluri keibuan dan semangat altruistik. Yang terakhir, sistem sosial dan budaya kita sebagai elemen reproduksi menyuruh kita untuk menjaga dan melindungi kita sebaik-baiknya for the sake of society. begitu lah, paragraf ini merangkum tiga dimensi mengapa anak bayi begitu memikat kita: desain fisik, altruistik, dan kepentingan pasar masyarakat. Oh iya, keperluan pasar, saya lupa. Untuk tujuan ekspansi pasar, maka proses-proses reproduksi dijamin oleh sistem kapitalisme. Beranak yang banyak sehingga tenaga kerja dan pasar tetap terjaga ada. Ada lagi? Tentu saja, agama Anda butuh pengikut semakin banyak bukan? Anak-anak Anda jelas pangsa utama bagi bangunan agama ini.

Kita lupakan sejenak faktor-faktor tersebut. Mari kembali ke pertanyaan awal mengenai modal manusia. Kita tahu bahwa bayi merupakan induk Id. Bayi Anda selama masa awal pertumbuhannya tidak lebih dari makhluk yang tugasnya hanya bertahan dan makan. Kesadarannya belum terbentuk dan hanya tahu lapar serta tidak nyaman, murni insting dan sangat naluriah. Dalam konteks psikologi perkembangan Freudian, bayi Anda, hingga umur 4 – 5 berada dalam tahapan yang disebut tahap infantil.

Bicara Freud tidak mungkin lepas dari dorongan seksual sebagai sari pati utamanya. Menyambung dengan pertanyaan di postingan sebelumnya mengenai apa yang mendorong perilaku manusia, pada masa-masa ini, manusia hanya didorong oleh nalurinya yang seksual (karena kita bicara Freud). Bayi? Punya dorongan seksual? Setidaknya itu yang saya baca. Yang perlu Anda orang tua catat adalah hasrat seksual bayi tidak terkait dengan fungsi reproduksi sehingga Anda boleh sedikit lega setidaknya norma dan etika masyarakat Anda tidak terganggu, begitu?

Pada tahap infantil, dorongan seksual bayi berada di dua tahap: anal dan oral. Dengan oral, maka bayi akan memuaskan hasrat seksualnya dengan aktivitas di mulutnya. Yaps, Anda tahu: lewat proses menyusui. Kapan pun bayi Anda merasa nyaman dan mulai menangis, solusinya adalah payudara Anda, para ibu. Aktivitas ini akan membentuk alam bawah sadar bayi sedemikian rupa sehingga ketika manusia tumbuh dewasa, setiap kali mereka dilanda kecemasan, mulut mereka akan menjadi indikasi utamanya. Tak heran rokok dan permen karet menjadi populer karena keduanya bisa menyibukan mulut kita dan pada akhirnya menenangkan kita. Pada fase anal, bayi Anda akan mengeksplorasi daerah anal mereka. daerah libidal pada dase anal adalah daerah sekitar anus mereka. ekspresinya ditunjukan setiap kali mereka buang air besar dan berada di toilet.

Well, bayi kita ternyata sudah punya cukup modal yang penting: hasrat seksual. Baik lah.

Konsep kedua yang mau saya angkat barangkali lebih seru dan menantang. Ia adalah konsep arketipe yang dicetuskan oleh Carl Gustav Jung maha agung. Arketipe, secara sederhana merupakan insting bawaan yang tertanam secara fisiologis di dalam DNA kita. Ia lahir dari ketidaksadaran kolektif (collective consciousness) dan diberikan oleh para leluhur kita sebagai modal awal untuk bertahan di dunia yang pada dasarnya brengsek ini.

Arketipe, menurut Jung secara umum dan paling banyak terdiri atas 4 bagian: persona, bagian yang kita gunakan untuk masuk ke dalam sistem sosial. Darinya kita belajar untuk mengenakan “topeng” agar kita dapat diterima di berbagai kondisi sosial. Ia mengatur pola adaptasi kita di masyarakat, sesuai namanya persona yang berarti topeng dalam bahasa latin.

Arketipe kedua adalah bayangan (shadows). Seperti istilahnya, ia berisikan segala konteks negatif dari manusia: prejudice, birahi, amarah, hingga rasa cemburu. Intinya segala hal yang tidak akan disukai oleh nenekmu dan masyarakat secara umumnya. Ia merupakan elemen yang direpresi oleh kesadaran atau persona kita. Arketipe ketiga: anima untuk wanita atau animus untuk pria, atau terbalik yah? Yah itu intinya. Ia berkaitan dengan manifestasi gender kita. Anima adalah elemen maskulin di wanita dan animus adalah elemen feminin di pria. Saya tidak mau membahasnya terlalu banyak. Arketipe berikutnya adalah diri sendiri, Aku (dengan huruf A besar terjemahan Inggrisnya adalah self). Aku merupakan bangunan antara kesadaran dan ketidaksadaran. Ia hadir dan termanifestasi menjadi berbagai karakteristik dan manusia berada tepat di tengah-tengahnya.       

Begitu lah, jika eksistensialisme memberangus pilihan hidup kita ketika dilahrikan lewat faktisitas, psikologi memberikan kita kado lewat arketipe-arketipe tersebut. Bergembira lah.

Oh iya, ada lagi konsep yang memberikan kita kado: kejawen lewat sedulur papat limo pancer. Tapi saya kehilangan minat buat lanjut menulis, silahkan cari sendiri di internet. Semua bahan tulisan di atas juga Cuma saya catut dari Wikipedia kok. Saya tulis ulang supaya saya terlihat bernas belaka, arketipe saya yang menyuruhnya demikian.

scriptammanent

Voluntaris

Belakangan, saya semakin tergelitik dengan satu pertanyaan yang saya pikir menjadi salah satu pertanyaan fondasi dari upaya saya memahami manusia dan apa yang berada di balik layarnya; yang secara sistematis mungkin menjadi pertanyaan ontologis bagi rumpun keilmuan sosio humaniora: what does make human does. Terjemahan ugal-ugalannya barangkali adalah apa yang membuat manusia melakukan sesuatu?

Namun sebelum melangkah masuk ke dalam uraian dan jawaban terhadap pertanyaan itu, saya pikir perlu sekali untuk mengelaborasi mengapa pertanyaan tersebut muncul. Bahwa untuk memahami sesuatu yang “halus” dan “non-empirik” pengamat manusia perlu berangkat dari sesuatu yang terlihat dan nyata diamati. Saya tidak mau mengembangkan ke pertanyaan menyebalkan yang mendebat ini semacam “bagaimana bila panca indera kita menipu kita?”. Saya pikir perdebatan klasik kaum empirik dan rasionalistik perlu diakhiri dengan menggunakan cara-cara seperti misalnya penggunaan gawai. Lagipula, hei, bukankah proses berpikir dan pengambilan keputusan sekarang sudah didesain betul untuk panca indera dan pikiran kita bahu membahu menghasilkan kebenaran yang paling memuaskan?

Oke, kembali ke substansi. Pengamatan lewat panca indera menjadi titik berangkat untuk kemudian, fenomena yang tertangkap dapat diproses di dalam pikiran manusia dari situ berangkat lah untuk melihat apa yang manusia lakukan (to observe what human does) dan melihat bagaimana fenomena tindakan tersebut terhubung dan berada dalam jaring-jaring yang lebih besar lagi.

Tulisan ini sendiri merupakan catatan amburadul yang ada dalam pikiran saya, saya akan benar-benar menuliskan semua yang terlintas dan tidak mengharapkan Anda untuk dapat mengikuti dan sampai ke konklusi yang dimaksud. Itu pun saya juga sangsi akan ada konklusi di tulisan ini. Bilamana nanti saya diangkat menjadi guru besar sosiologi atau antropologi di Columbia University atau Princeton University atau dimanapun Ivy League, saya baru berpikir untuk mengentaskan tulisan ini lebih terstruktur. Sembari itu tak akan terjadi, ini barangkali menjadi paparan yang paling pas.

Baik.

Saya mulai dari asumsi yang mengatakan bahwa apa yang mengontrol perilaku manusia setidaknya berasal dari dua sumber: dari internal manusianya sendiri dan dari luar. Antagonisme ini dirangkum dengan apik ke dalam satu set teori yang diambil oleh psikologi, biologi, dan neurologi sebagai ilmu yang memetakan dorongan internal manusia dan sosiologi, antropologi, dan ekonomi sebagai keilmuan yang memetakan faktor-faktor luaran. Sedikit googling, saya dapat mengoversimplifikasi kedua hal tersebut ke dalam perbenturan antara voluntarisme dan determinisme. Terma yang barangkail pernah didamaikan oleh Bourdieu. Tapi sebelum sampai disitu, mari lah kita melihatnya sebagai dua entitas yang terpisah.

Voluntarisme berpendapat bahwa setiap manusia memiliki dorongan internal yang bebas dari pengaruh apapun. Bahwa tindakan manusia semata-mata didasarkan pada dorongan dari dalam dirinya sendiri dan kerananya, manusia berdaulat atas setiap tindakan yang ia lakukan. Determinisme, di sisi lain, mengatakan bahwa tindakan manusia dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar dirinya seperti katakan lah masyarakat dan apa yang ada di dalam masyarakat itu.

Dari uraian di atas mana yang Anda suka? Ketahui lah bahwa keduanya benar belaka. Atau jika Anda seperti saya, anak sok ngeindie yang senengannya mengambil alternatif di luar pilihan-pilihan yang ada sebagai bentuk perlawanan terhadap kuasa penyediaan pilihan maka kita bisa mengambil jalan tengah diantaranya. Formulasinya begini, terkadang tindakan manusia dipengaruhi faktor dalam dirinya dan terkadang faktor di luar dirinya. Weew, sungguh pernyataan yang sangat ngeposmo.

Baik, saya coba petakan konsep-konsep kontekstualnya. Konsep pertama: voluntarisme

Pertama mari berangkat dari Freud. Psikoanalisa berpendapat bahwa benturan antara voluntarisme dan determinisme berlangsung berbeda berdasarkan tingkat pertumbuhan dan perkembangan fisiologi organ pemikiran manusia. Kita tahu trinitas Freud yang sangat beken itu dan: Id, Ego, dan Superego. Sedikit mundur ke belakang, spiritualitas Kabbalah sebenarnya juga memiliki pembagian yang lebih banyak: Nefesh, Ruach, Neshamah, Chayyuh, dan Yehidah.

Kesetaraan keduanya berada pada Nefesh – id dan Ruach – Ego. Id dan Nefesh berkenaan dengan perilaku instingsif: nafsu makan, nafsu birahi, ego-sentrisme dan segala ketidakpedulian yang bisa Anda temukan pada masa bayi kita. Anda tahu, kasarnya, seperti perilaku kebinatangan. Sementara ego berada pada tingkatan yang lain dimana pada kondisi ego perlahan manusia mulai dapat menyesuaikan dan memahami serta menahan insting serta nafsu badan dan hedonisme yang muncul di dalam diri mereka masing-masing. Ruach, dalam prespektif Kabbalah adalah entitas dimana manusia dapat membedakan apa yang baik dan apa yang buruk walaupun tentu saja, dalam level etika moral yang lebih kritis kita patut sekali bertanya apa sebenarnya dan apa yang menjadi dasar pembedaan baik dan buruk itu. Perbedaan mendasar di antara keduanya adalah Freud punya komponen superego sedangkan Kabbalah punya Meshamah, Chayyuh, dan Yehidah. Freud punya superego sebab sosiologi tengah berkembang dengan baik pada masanya sedangkan Kabbalah punya tiga hal tersebut karena Freud ateis. Begitu saja sudah.     

Kemampuan membedakan baik dan buruk sendiri, dalam beberapa peta pemahaman dapat dibedakan menjadi dua blok yakni yang dbangun di atas kesadaran dan yang ada sebagai bawaan. Beberapa pendapat tradisional seperti Filasafat Konfusian berpendapat bahwa manusia pada dasarnya dilahirkan dengan kebaikan yang tertanam di dalamnya namun kemudian dunia yang brengsek ini mencemarinya dan manusia melakukan kejahatan karena pengaruh dunia ini. pandangan lain, seperti yang dijelaskan oleh Romo Magnus-Suseno mengatakan bahwa manusia terlahir dilengkapi dengan suara Tuhan yang berbentuk hati nurani. Menarik bukan? Segala pertentangan dan perdebatan mengenai bagaimana mekanisme kesadaran kekuatan yang berasal dari dalam diri manusia berada di aras voluntarisme.

Konsep kedua: determinisme

Konsep superego ekuivalen dengan konsep mengenai masyarakat. Manusia dibentuk oleh faktor dari luar dirinya dalam hal ini masyarakat. apa yang bisa kita ekstrak dari masyarakat? yups betul, struktur, fungsi, dan pola. Bagi saya, ketiga hal tersebut atau modus apapun yang masyarakat lakukan untuk mengontrol manusia yang ada di dalamnya terkadang begitu absurd, sulit betul untuk dipahami, abstrak, dan tak jarang seperti keajaiban. Tak terlihat, terasa, terdengar, kontrol tersebut saya pikir hanya berwujud dan termanifestasi dalam tulisan-tulisan dan batasan ilmu pengetahuan. Ini tantangannya, ini hal menariknya. Tak pelak, Adam Smith harus menamai salah satu konsep mengenai penggerak masyarakat ini dengan nama “The Invisible Hands” karena yah barangkali memang ia ghaib. Sampai sini paham maksud saya kan yah? Contoh lainnya, salah satu cabang pemikiran berpendapat di dalam kelindan dan tumpukan barang-barang ghaib tersebut barangkali ada satu hal yang terasa menyembul begitu saja dan hadir dimana-mana: permainan kuasa yang melahirkan represi dan penderitaan dan disebabkan oleh konflik antar kelas karena ketimpangan kepemilikan faktor produksi. Terlihatkah ia? Tidak tapi rasa tertindas tidak pernah berbohong.

Betulkah?

scriptammanent

Larik Hari Keduabelas

Bolehjadi puan juga menyadari bahwa kita berada di tepinya

Tak terlihat kembali ada persimpangan, tak dapat lagi kita berselisih jalan

Barangkali tuan juga melihat bahwa kita sudah ada di akhirnya

Setelah puas kita berbasah mandi darah kini petualangan kita putus sudah

Tuan dan puan sekalian hamba berterimakasih

Karena Anda sekalian hamba tahu bagaimana merakit serpih memori menjadi benci

Juga sari Anda hamba belajar memendam kebenaran di tanah kebenaran nan sepi

Jikalau ada satu yang belum sempat terucapkan, maka izinkan hamba menghaturkanya lewat sunyi.

Mohon beri hamba tenggat, sebentar lagi saja agar hamba dapat memadunya dalam nada

Lalu niscaya akan hamba titipkan lewat sayap-sayap api terkhusus puan dan tuan sekalian

Dan jika setelah itu hamba mati, hamba mohonkan kesabaran jika dalam sejenak waktu

Di malam-malam hujan bilamana tuan dan puan tengah mesra berpadu

hangat merayu

Hamba datang tanpa mengetuk pintu.

Sleman, 12 Januari 2019


Larik (lagi)

Barangkali pada suatu ketika

kamu tengah hilang dan dijumpai tanya

tentang aku yang ada dimana,

mari kubisikan petunjuk padamu.

Raba aku di bayang yang paling sama terasa

mungkin aku sedang menenun hampa

merangkai rasa

menjahit mesra.

Untuk sedikit saja membukakanmu mata

dan menunjukan perlahan rahasia-rahasia

bahwa semesta acuh saja untuk mereka yang keras kepala dalam mencinta.

Begitu saja, semoga dalam tidurmu masih ada senandung rindu.

Masih ada aku,