Aku memicingkan mata di tengah silaunya matahari pukul setengah tiga sore agar tak salah mengira. Kerlip air permukaan meyakinkan aku bahwa aku tidak salah memutuskan. Di hadapan, Ortok-Tokoy berbaring menyejukan. Senang rasanya mengetahui perjalanan sudah mencapai titik tengahnya.
Kulirik samping kiriku, Ruslan masih sibuk menganalisis jalan dan mengkonsentrasikan seluruh kemampuan psikomotoriknya untuk mengendalikan laju mobil kelokan-kelokan akhir Pegunungan Kara-kol. Konsentrasinya bisa ia pusatkan sepenuhnya di kaki-kaki dan tangannya sebab ia tidak perlu memperhatikan entitas lain di dunia ini, aku salah satunya. Ruslan, atau, sebagaimana para laki-laki dipanggil dengan panggilan -bek di nama belakangnya, Ruslan-bek tidak bisa bicara Bahasa Inggris dan hanya mengenal linguistik serta sintaksis Bahasa Kyrgyz.
Ortok-Tokoy mendayu-dayu manja dibelai angin dan diselimuti terang cahaya matahari. Ruslan-bek tidak terkesima dengannya, berbanding terbalik denganku yang nampak seperti kali pertama menyaksikan air dalam jumlah besar terkonsentrasi di satu cerukan. Ia sudah barang tentu melihat kerlipnya di siang hari atau bayang gelapnya di malam hari ratusan kali. Kutaksir, karena pekerjaannya sebagai supir taksi ia mesti lah sering bolak-balik Naryn – Bishkek untuk mengantar tamu atau pelancong.
Terkadang, terlempar jauh dari rumah bisa membuat segala yang remeh menjadi luar biasa.
Menjelang persimpangan, Ruslan tidak mengambil jalur sebelah kanan. Aku sedikit mengingat dari perjalanan berangkat dan tahu bahwa ia mengambil jalur yang berbeda. Dari ceruk-ceruk ingatanku mengenai jalan di daerah ini yang kami saksikan di basecamp lewat GPS, jalur sebelah kiri yang Ruslan ambil akan bertemu kembali dengan yang di sebelah kanan dengan jarak tempuh yang lebih singkat. Dari papan aku juga bisa mengetahui bahwa jalur kiri adalah jalur By Pass. Jalur kanan akan memutar dan melewati Balykchy, kota kecil tepat kami berbelanja peralatan dan menjemput Ira, koki lapangan kami yang mengingatkanku pada sosok penyanyi-penyanyi blonde seperti Ashley Tisdale.
Mengenai Ira, apa yang paling terpatri dalam memori adalah bagaimana ia mengatakan “tcutcut?!” dan ekspresi keherannya setiap kali meminta porsi di piring kami dikurangi. Yang kedua adalah ekspresi di wajahnya setiap sore kami pulang yang mengatakan “mereka kelihatan lelah, baik lah kumasakan sesuatu yang bisa membuat mereka merasa punya dua badan”. Ini sungguh nyata, kuceritakan pada kalian, karena pada suatu sore ia mengatakan hal seperti itu padaku. Itu kali pertamanya aku mendapati lucunya memiliki perasaan.
Tangan Ruslan masih mantap di kemudi. Ia memang supir handal. Wajahnya kaku lurus menatap ke depan dan sesekali mendahuli mobil yang lamban. Tak sampai setengah jam kami sudah sampai ke jalan utama. Di suatu lokasi, Ruslan (-bek) memarkir mobilnya dan memberi isyarat ia mau makan, aku mengangguk mengiyakan. Kami turun dan aku menunggu di luar. Terik matahari tak menghalangiku mengamati setiap orang-orang yang ada disini. Kembali, aku selalu bertanya apa yang tengah orang-orang ini lakukan, bagaimana masa lalunya, dan kemana mereka bertujuan. Mereka-reka apa yang tampak dari luaran orang-orang ini memberi keasikan tersendiri. Imajinasiku kemudian pecah ketika Ruslan keluar dan memberi isyarat bahwa perjalanan siap dilanjutkan.
Di dalam mobil, Ruslan beberapa kali menerima panggilan dari telepon seluler jadul miliknya. Ponsel itu selalu dalam keadaan tercolok lewat piranti mobile charger yang terhubung ke pemantik api di dalam mobil. Entah apa yang ia diskusikan dengan orang di seberang sana. Ponselku sendiri tidak berguna disini. Tak ada sinyal dan, karena udara dingin selama beberapa hari, aku harus merelakan batrenya membengkak dan menjebol penutup belakangnya. Tak ada pilihan lainnya selain hanya kusimpan di tas pinggangku.
Sembari mobil melaju, aku bisa melihat jajaran perbukitan perbatasan Kirgistan dan Kazakstan. Tak lama, pos perbatasan untuk menuju Almaty sudah terlihat. Kami sudah dekat.
Pukul lima sore kami tiba. Aku agak kesulitan menjelaskan letak penginapan Abba ke Ruslan karena aku tidak tahu menahu soal jalan-jalan disini dan tidak ada satupun kata yang kuucapkan tersampaikan maknanya ke Ruslan. Selang beberapa menit yang menegangkan, kami sampai di persimpangan yang kuingat arahnya. Cukup senang, kuarahkan Ruslan untuk sampai ke homestay.
Setelah membantu menurunkan barang, Ruslan memacu kembali mobilnya entah kemana. Barangkali kembali langsung ke Naryn atau berputar-putar dulu disini. Aku menyeka keringat, memencet bel lalu masuk ke dalam.
Hari itu, hingga pukul delapan, matahari masih tepat berada di atas kepala orang-orang di Bishkek.