scriptamanent

"Veritate Perempta Novam Sententiam Petimus"

Month: April, 2019

Malahayati

Sejurus waktu lalu telapak Ilas Merah menyentuh pipi ranum Rukmini. Dalam sejenak hampa, dalam sekejap vakansi, imajinasi dan horizon kesadaran Rukmini membentang bebas dan luas. Pikirannya mengirim milyaran arus listrik yang berloncatan dan membentuk pemahaman terhadap momentum ini.

“Waktu dan impuls yang menjadi hakim untuk mendikte makna momen ini. Ini lah saat dimana impuls bicara dan bisa membedakan antara mesra dan nestapa.”

Misalnya saja telapak Ilas Merah berada 30 detik lebih lama di pipinya niscaya ia berbuah hasrat dan mesra. Sayangnya, tak sampai satu kejap mata, telapak Ilas Merah mengayun kuat menyantap pipinya dan berbuah tamparan. Rukmini terjaga, otomatis kesadarannya menghalau rasa sakit di pipinya mengalir ke dalam hatinya.

Dingin dan tak bicara, Ilas Merah keluar dari ruangan itu.

Dingin dan tak juga bicara, Rukmini hanya menatap kosong dinding di sisi kirinya.

Dari kolong meja, Mahandini lantas keluar. Tangis sunyinya meninggalkan jejak-jejak basah air mata di pipinya.

“Kau tidak melawan?” tanya bocah lima tahun itu.

Senyum Rukmini mengembang, tak ada kekuatan dan keteguhan yang berkurang sedikitpun dari senyumnya itu. Matanya pun masih tebal dibalur keteduhan. Ia berkata pada Mahandini.

“Mahandini, hati dan pikiran bukan merupakan satu kesatuan waktu dan ruang yang pejal melainkan tersekat-sekat oleh momentum dan peristiwa. Ilas Merah, siapapun dia, tidak akan niscaya mengetahuinya.”

Sambil menggandeng Mahandini, ia berujar.

“karena Ilas Merah tidak memilikinya. Tuhan sengaja tidak memberikannya hati agar ia hadir sebagai juri di semesta ini.”

Layar ponsel Rukmini menyala. Sebuah pesan masuk:

“Mari.” nama kontak yang tertera: Malahayati.

scriptammanent

39 Derajat dari Bishkek

Aku memicingkan mata di tengah silaunya matahari pukul setengah tiga sore agar tak salah mengira. Kerlip air permukaan meyakinkan aku bahwa aku tidak salah memutuskan. Di hadapan, Ortok-Tokoy berbaring menyejukan. Senang rasanya mengetahui perjalanan sudah mencapai titik tengahnya.

Kulirik samping kiriku, Ruslan masih sibuk menganalisis jalan dan mengkonsentrasikan seluruh kemampuan psikomotoriknya untuk mengendalikan laju mobil kelokan-kelokan akhir Pegunungan Kara-kol. Konsentrasinya bisa ia pusatkan sepenuhnya di kaki-kaki dan tangannya sebab ia tidak perlu memperhatikan entitas lain di dunia ini, aku salah satunya. Ruslan, atau, sebagaimana para laki-laki dipanggil dengan panggilan -bek di nama belakangnya, Ruslan-bek tidak bisa bicara Bahasa Inggris dan hanya mengenal linguistik serta sintaksis Bahasa Kyrgyz.

Ortok-Tokoy mendayu-dayu manja dibelai angin dan diselimuti terang cahaya matahari. Ruslan-bek tidak terkesima dengannya, berbanding terbalik denganku yang nampak seperti kali pertama menyaksikan air dalam jumlah besar terkonsentrasi di satu cerukan. Ia sudah barang tentu melihat kerlipnya di siang hari atau bayang gelapnya di malam hari ratusan kali. Kutaksir, karena pekerjaannya sebagai supir taksi ia mesti lah sering bolak-balik Naryn – Bishkek untuk mengantar tamu atau pelancong.

Terkadang, terlempar jauh dari rumah bisa membuat segala yang remeh menjadi luar biasa.

Menjelang persimpangan, Ruslan tidak mengambil jalur sebelah kanan. Aku sedikit mengingat dari perjalanan berangkat dan tahu bahwa ia mengambil jalur yang berbeda. Dari ceruk-ceruk ingatanku mengenai jalan di daerah ini yang kami saksikan di basecamp lewat GPS, jalur sebelah kiri yang Ruslan ambil akan bertemu kembali dengan yang di sebelah kanan dengan jarak tempuh yang lebih singkat. Dari papan aku juga bisa mengetahui bahwa jalur kiri adalah jalur By Pass. Jalur kanan akan memutar dan melewati Balykchy, kota kecil tepat kami berbelanja peralatan dan menjemput Ira, koki lapangan kami yang mengingatkanku pada sosok penyanyi-penyanyi blonde seperti Ashley Tisdale.

Mengenai Ira, apa yang paling terpatri dalam memori adalah bagaimana ia mengatakan “tcutcut?!” dan ekspresi keherannya setiap kali meminta porsi di piring kami dikurangi. Yang kedua adalah ekspresi di wajahnya setiap sore kami pulang yang mengatakan “mereka kelihatan lelah, baik lah kumasakan sesuatu yang bisa membuat mereka merasa punya dua badan”. Ini sungguh nyata, kuceritakan pada kalian, karena pada suatu sore ia mengatakan hal seperti itu padaku. Itu kali pertamanya aku mendapati lucunya memiliki perasaan.

Tangan Ruslan masih mantap di kemudi. Ia memang supir handal. Wajahnya kaku lurus menatap ke depan dan sesekali mendahuli mobil yang lamban. Tak sampai setengah jam kami sudah sampai ke jalan utama. Di suatu lokasi, Ruslan (-bek) memarkir mobilnya dan memberi isyarat ia mau makan, aku mengangguk mengiyakan. Kami turun dan aku menunggu di luar. Terik matahari tak menghalangiku mengamati setiap orang-orang yang ada disini. Kembali, aku selalu bertanya apa yang tengah orang-orang ini lakukan, bagaimana masa lalunya, dan kemana mereka bertujuan. Mereka-reka apa yang tampak dari luaran orang-orang ini memberi keasikan tersendiri. Imajinasiku kemudian pecah ketika Ruslan keluar dan memberi isyarat bahwa perjalanan siap dilanjutkan.

Di dalam mobil, Ruslan beberapa kali menerima panggilan dari telepon seluler jadul miliknya. Ponsel itu selalu dalam keadaan tercolok lewat piranti mobile charger yang terhubung ke pemantik api di dalam mobil. Entah apa yang ia diskusikan dengan orang di seberang sana. Ponselku sendiri tidak berguna disini. Tak ada sinyal dan, karena udara dingin selama beberapa hari, aku harus merelakan batrenya membengkak dan menjebol penutup belakangnya. Tak ada pilihan lainnya selain hanya kusimpan di tas pinggangku.

Sembari mobil melaju, aku bisa melihat jajaran perbukitan perbatasan Kirgistan dan Kazakstan. Tak lama, pos perbatasan untuk menuju Almaty sudah terlihat. Kami sudah dekat.

Pukul lima sore kami tiba. Aku agak kesulitan menjelaskan letak penginapan Abba ke Ruslan karena aku tidak tahu menahu soal jalan-jalan disini dan tidak ada satupun kata yang kuucapkan tersampaikan maknanya ke Ruslan. Selang beberapa menit yang menegangkan, kami sampai di persimpangan yang kuingat arahnya. Cukup senang, kuarahkan Ruslan untuk sampai ke homestay.

Setelah membantu menurunkan barang, Ruslan memacu kembali mobilnya entah kemana. Barangkali kembali langsung ke Naryn atau berputar-putar dulu disini. Aku menyeka keringat, memencet bel lalu masuk ke dalam.

Hari itu, hingga pukul delapan, matahari masih tepat berada di atas kepala orang-orang di Bishkek.

Tepi Kuala Palikodan

Ekuinoks

Tak kenal ampun, matahari mengguyur tengkukku yang tak terlindung sejuk bayang Pohon Bayur yang tumbuh subur sepanjang penggal sungai ini dengan panas terik. Aku beringsut perlahan dari tepian air sembari membereskan peralatan titrasiku. Setelah kuletakan di tempat yang aman aku lantas mengecek pembacaan di EC Meter.

“Asu!”

Aku mengumpat melihat pembacaan pH di layarnya yang masih jumawa menampilkan angka 5.8, 0.2 lagi dari bakumutu yang ditetapkan. Aku menyeka keringat di dahiku sambil bersungut-sungut membayangkan dengan jelas minggu lalu, dengan sembrono, mill manager memerintahkan menggelontorkan kapur tohor dengan jumlah yang tak main-main ke kolam mixing di IPALku.

“Supaya pHnya terkontrol”, terangnya sambil menyeringai puas.

Yang ia tidak tahu dan sampai saat ini aku masih belum menemukan petunjuk untuk melesakan informasi ini menembus tempurung kepalanya yang tebal hingga rasa-rasanya kebal peluru dan informasi itu adalah bahwa tindakannya itu menurunkan kemampuan kolam mixing kesayanganku begitu banyak. Kapur tohor, karena punya ikatan ion yang selemah ikatan perkawinan selebritas dan social climber yang kuikuti beritanya di kanal LINE TODAY, mudah terlepas dan segera, menemukan ikatan baru dengan ion hidrogen yang berlaku seperti tentara baru beres perang: buas dan binal. Mereka dengan segera merebut dan menggaet ion-ion oksigen yang lepas untuk menjadi ion hidroksida. Demikian sehingga, pH yang ada di kolam mixing kami melorot dengan cepat.

Namun demikian, tidak ada kehilangan tanpa pembalasan. Ion kalsium yang ditinggalkannya kemudian akan berikatan dan dengan ajakan gravitasi, mereka berkumpul di dasar sambil meratapi kehilangan mereka dan meninggalkan kerak brengsek dan mengurangi kedalaman kolam mixing ku hingga setengah meter. Akibatnya, karena endapan itu luput kami sadari, deras limbah dari kolam pendinginan tidak diatur dan dalam waktu singkat, limbahnya meluber.

Dan di tengah segala keriuhan itu, pH yang kami lepasliarkan ke badan air ternyata tidak juga menghasilkan angka yang diharapkan. Sebagai bonus, nilai ion kalsium malah meroket dan menimbulkan permasalahn parametrik baru.

Semenjak hari itu, darah dan pikiranku serasa ikut didihkan oleh ekuinoks ini.

Aku setengah berharap dengan agak naif bahwa, dengan mengetahui bahwa ekuinoks mengubah cuaca dan karenanya mengubah segala aktivitas manusia di kolong langit ini, maka ada sedikit perubahan dalam keseharianku disini. Nyatanya, berapa puluh ekuinoks yang kulalui, aku masih sama saja: tiap senja yang katanya bikin mesra dan rupawan itu, aku malah harus berjibaku dengan aroma limbah yang lengket di baju kerja dan seluruh tubuhku.

Aku menghelas nafas, membereskan alat-alat pemantauanku lalu masuk ke mobil. Kunyalakan pemutar lagu dan terputar lah lagu Folsom Prison Blues milik Johnny Cash. Aku langsung bersenandung dengan sepenuh hati untuk bait pertamanya:

I hear the train a comin’
It’s rollin’ ’round the bend,
And I ain’t seen the sunshine
Since, I don’t know when
I’m stuck in Folsom Prison
And time keeps draggin’ on
But that train keeps a-rollin’
On down to San Antone

Hidup hanyalah berpindah dari satu penjara ke penjara yang lainnya, kupikir begitu.

Dan mobil menggilas kerikil di jalan. Terus menerus terpapar AC membuatku merasa meriang: bertambah lagi satu pekerjaan.

scriptammanent

Mahandini

Ilas Merah menggebrak meja lantas menghardik Getok Panuluh yang ada di seberangnya. Naik pitam, serunya:

“pikirmu jika orok itu tidak kuberikan agama semenjak awalnya maka lantas ia menjadi penipu, korup, dan hanya menghamba pada hawa nafsu semata!? biar! kan kubiarkan ia dikhianati seperti Kristus, ditolak seperti Rasul Muhammad, diasingkan layaknya Pandawa, dan meresapi dunia samsara ini hanya sebagai dukha layaknya Gautama! dari sana ia akan lahir berlahir kembali seutuh-utuhnya, selengkap-lengkapnya manusia”

Menghambur keluar, Ilas Merah menendang pintu hingga patah kenop dan bergeser engselnya.

Di meja yang ditinggalkannya, Getok Panuluh menghembuskan asap rokoknya, lalu menuang sisa scotch dibotol dan ditenggaknya dalam sekali teguk. Ia lantas berdeham lalu perlahan, tanpa suara, masuk ke dalam kamar Meranti yang disorot temaram lampu templok. Sedikit mendesah, ia menyelinap masuk ke dalam selimut yang membalut tubuh merona Meranti yang tak berbusana. Tanpa membuka mata, Meranti merengkuh dahi Getok Panuluh lalu mengarahkannya dengan lembut ke dadanya dan mendekapnya, kuat.

Air mata Getok Panuluh menetes satu. Dia tahu, dia sudah di rumah.

(*) Ilas Merah

Diluar, dikepung beku udara Lencoh, nafas memburu Ilas Merah langsung berganti kepulan uap. Blingsatan tak tentu arah, ditemani muram lampu jalan dan berat suara sepatunya yang menyeret permukaan makadam, pikirannya melesat. Bak cairan pahit, emosinya meluncur jatuh dari otaknya ke mulutnya dan berbuah umpat.

“Bangsat!”

Kita tahu Ilas Merah tidak punya hati.

Ia merasa perlu menyumpal mulutnya agar. Dibakarnya rokok, sisa dua batang saja, dimasukan sisanya ke sakunya. Asap rokok mengubah cairan pahit umpatan yang terkumpul di mulutnya menjadi kabut pemikiran untuk dikembalikan lagi ke pikirannya.

“Tahu apa Getok Panuluh soal siklus hidup? Lahir pun ia tidak dari rasa sakit, lalu bicara seolah dia Tuhan yang memberi semua ini arti.”

Satu hisapan lagi.

“Anak itu miliku. Apa yang masuk ke perut dan kepalanya adalah aku penentunya. Untuk sebagai tanda jadi dan bukti kepemilikan, aku yang memberinya nama, penanda bahwa ia ada, berbeda dan siap bertempur melawan segala yang ada. Inilah namanya:

Perhatiannya teralihkan sejenak oleh lesatan komet dekat Puncak Merapi

Dapunta Hyang Mahandini”