Kengkuhis Balidanyam

Berikut sisa-sisa catatan yang ditemukan dari rumah kosong yang kami masuki kemarin dulu itu.

Banua Ginjang

Aku agak terpikir lama menyaksikan ia pulang minggu lalu: barangkali ini lah sebabnya Tuhan menciptakan manusia, malaikat, dan iblis secara terpisah-pisah supaya nanti ia tahu yang mana harus berbuat apa. Sedikit terkecuali untuk manusia kurasa. Ia menciptakan manusia di awal tapi tak memberikannya banyak-banyak tugas dan kewajiban kecuali larangan saja untuk tidak memakan buah terlarang. Dan karena memang dasar manusia saja yang begitu rupanya, hanya satu larangan juga tetap saja dilanggarnya maka murka lah Tuhan itu dulu. Aku pun, kau bayangkan ya, jika kusuruhnya, katakan lah, aku punya ciptaan dan tak maunya dia mendengarkanku marah lah aku pasti, cem mana pulak tidak.

Apapun itu yang terjadi pada masa dahulu ku pikir lah tak perlu banyak-banyak disesali; yang terjadi ya terjadi lah. Jika pun kita masih di sana, enak kali ku rasa kita masih bisa santae santae ya kan. Tapi kan nyatanya tidak. Sekarang kita ada di sini saat ini dan apa yang ku rasa di sini saat ini adalah kita berada dalam kondisi yang serba terbatas, betul tidak? Tapi batasan-batasan tersebut yang kalau ku pikir-pikir lagi malah bikin semua ini terasa asyik dan menggembirakan. Kau pikir lah sikit bahwa karena segala keterbatasan itu, kita tak selamanya di sini akan mati kita bisa merasa-rasa sesuatu. Kepastian, mati salah satunya, menjadi kemewahan sendiri. Misal kita masih berada di sana dulu dan hidup serba terjamin, bisa mati bosan pun ku rasa-rasa.
Ku tengoknya seperti itu yang mau coba dia sampaikan tak lama setelah ia pulang. Benar salahnya tak tahu lah.

Banua Tonga

Datuk menyelenggarakan pesta perkawinan. Ramai betul tamunya datang dari berbagai penjuru kedatuan. Anak perempuannya memang cantik bukan kepalang dan di pesta perkawinan itu tamu-tamu yang riang gembira dapat sedikit melihat kecantikan dari putri datuk. Sudah tiga hari pesta diselenggarakan di Lamin Datuk yang juga kesohor besar itu. Tamu bak air sungai yang mengalir tiada berhentinya. Dijamu makanan, minuman, dan musik karinding yang tak ada putusnya.

Lalu pada hari keempat, seekor owa memutuskan untuk menyamar untuk menjadi tamu ke dalam pesta tersebut. Owa tersebut mencuri pakaian dari kedatuan terdekat dan menyelinap masuk melalui arus tamu yang tampak tiada habisnya. Sayang penyamaran owa tidak sempurna. Walau tertutup pakaian, bulu-bulunya yang tebal dan banyak masih menyembul keluar. Kemana ia pergi di pesta tersebut tamu-tamu yang lain memandangnya keheranan hingga salah seorang datuk yang lain bertanya kepadanya siapakah ia gerangan.

Karena panik, owa tersebut membanjiri seisi lamin yang besar itu dengan air sungai. Air sungai yang masuk begitu cepatnya membuat para tamu di dalam lamin terjebak dalam air yang semakin tinggi. Dalam keputusasaannya mereka mencari jalan keluar namun naas tidak dapat ditemukannya. Dalam sisa-sisa terakhir tenaganya, mereka mencoba memukul-mukul dinding lamin tersebut dan meninggalkan bekas tangan di dinding tersebut. Hingga saat ini. Saat Ilas Merah menatap nanar bekas-bekas tangan tersebut.

Banua Toru

Maka demikian catatan hari ini ku akhiri. Aku agak mengantuk dan perlu beristirahat setelah seharian memeriksa ke mana gerangan datuk-datuk tersebu terpisah di sungai. Ku lihat-lihat agak aneh sungai hari ini memang, airnya agak meninggi walau tak hujan seperti tersumbat sesuatu di bawah sana. Barangkali itu sebabnya para datuk menjauh dari sungai padahal kita janji berjalan bersama-sama. Nah ya sudah, misal nanti ku ada waktu kembali aku lanjutkan catatan ini lah. Toh hanya ini yang bisa kulakukan untuk menyampaikan pesan-pesan yang aku kumpulkan.

scriptamannent