The Lone Ranger
Dalam satu bagian buku catatan etnografi “Tempat Terbaik di Dunia”nya, Roanne van Voorst pernah menjelaskan bagaiman orang-orang Indonesia agaknya memandang orang yang sendiri secara, well, menurutnya aneh. Selalu ada bagi mereka kecenderungan untuk menemani orang-orang agar tidak sendiri. Kemanapun Roanne pergi, tulisnya, selalu ada yang membuntuti agar dirinya tidak sendirian baik ke pasar atau mengambil data etnografinya. Bagi Roanne yang notabenenya berasal dari Belanda, hal tersebut terasa asing baginya jika tidak dibilang membuatnya rikuh. Terlebih, dia mengakui dalam salah satu bagian tulisannya bahwa ia cenderung orang yang introvert. Dia membutuhkan waktu sendirian untuk kembali mengisi energinya ketika bertemu orang-orang dan untuk itu, dia sangat membutuhkan me time. Ia kemudian mendapatkan waktu tersebut dan memanfaatkannya untuk menonton di bioskop untuk kemudian, secara komikal, ia menceritakan bahwa di dalam bioskop ia malah mendapat teman lagi beberapa bocah yang disuruh duduk dekatnya oleh ibu mereka.
Pengalaman Roanne van Voorst sangat wajar mengingat bangsa ini adalah bangsa yang sangat komunal dan di tengah gempuran berbagai nilai-nilai yang menjunjung tinggi kebebasan individu yang berkembang menjadi individualisme, komunalitas masih dapat ditemukan dengan sangat tebal pada berbagai sudut-sudut masyarakat. Barang tentu, nilai individualisme ini (karena datangnya dari “barat”) dipromosikan sebagai suatu progres dimana para penganutnya berada pada garda terdepan front “woke”. Tak heran bahwa praktisinya adalah golongan muda yang berjejal-jejal di urban atau daerah-daerah peri-urban. Akan tetapi, sesuai dengan tesis Boeke mengenai dualisme kapital yang terjadi pada era kolonial, saya pikir saudara-saudara saya setanah air (terutama di Jawa lebih tepatnya tempat saya tinggal saat ini) sangat terampil dalam meracik dan mendialogkan kutub-kutub antagonis suatu spektrum pemikiran. Menghasilkan hibrid-hibrid yang unik.
Individualisme menghasilkan keturunan sahih: kesendirian. Roanne dengan apik juga menjabarkan bagaimana orang yang sendiri umumnya dikasihani. Secara turun-temurun tinggal dalam suatu komunitas membuat kita tidak terbiasa dengan kesendirian. We pity the loner. Secara pribadi, saya pernah mengalami fase-fase ini selama SMP dan SMA. Ada masanya, saya memilih meringkuk kelaparan di kelas karena tidak punya teman yang bisa saya ajak ke kantin untuk makan. Saya khawatir dan merasa insecure berlebihan dan merasa menjadi liyan yang aneh bila saya berjalan sendirian tanpa teman. Saya tidak paham mengapa demikian, namun dalam rasionalisasi saya sebagai seorang juvenile yang tengah tumbuh dan menyandarkan jatidirinya pada kesadaran kelompok, kesendirian adalah tabu pribadi. Terlebih lagi, SMA saya sangat menjunjung tinggi solidaritas dan identitas kolektif: saudara satu Kolese Gonzaga.
Saat ini saya paham bagaimana kesadaran kolektif itu pada dasarnya delusif. Kami di sekolah itu pada dasarnya adalah medioker. Tidak berprestasi namun juga bukan kelompok masyarakat yang tidak bergunan. Kami hanya rata-rata, papan tengah saja. Hal tersebut saya sadari ketika saya kuliah saya menemukan orang-orang yang luar biasa cemerlangnya dan kelompok kami tidak lebih dari setetes air hujan di tengah samudera. Untuk mengkompensasinya, kami perlu meminjam superioritas anggota individu lain dan mencampurkannya dengan identitas kolektif kami supaya kami mendapat sedikit kepercayaan diri.
Saya melangkah masuk ke masa universitas dengan membawa rasa insecure yang sama terhadap kesendirian. Sungguh demikian, hampir 5 tahun saya tidak pernah memiliki ruang pribadi. Setahun pertama saya habiskan mengontrak bersama teman-teman untuk selanjutnya saya tinggal dan hidup di sekretariat. Hanya pada tahun 2015 ketika akhirnya orang tua saya tidak sudi lagi membayarkan biaya kost-kostan saya kemudian pindah bersama eyang saya. Pada masa itu pula untuk pertama kalinya saya mendapat kamar sendiri yang bisa saya tempati tanpa perlu melihat orang lain sebelum dan sesudah tidur. Pola hidup saya semakin soliter seiring dengan penghuni rumah yang saya tempati meninggalkan tempat ini dan menyisakan saya, sendiri.
Kesendirian itu terkadang adiktif, saya harus mengakuinya. 5 tahun berikutnya adalah masa dimana hampir seluruh teman-teman saya berkeluarga dan akhirnya menyendiri bersama pasangan dan anak-anaknya. Saya merasa seluruh momentum saya tepat. Saya cukup banyak hidup secara komunal untuk kemudian merasa siap untuk menghadapi fakta bahwa saya dapat saja menghadapi hidup sendiri. Selain itu, saat ini saya masih memiliki komunitas dan teman-teman yang sewaktu-waktu dapat saya hampiri kapan pun saya butuh teman dan saya tahu saya sendiri namun tidak sendirian. Sembari menjalani cara hidup demikian, saya terus-menerus mensugesti diri bahwa people won’t last. Mereka akan pergi atau mati dan itu hanya masalah kapan dan dimana. Saya cukup tenang dan bahagia bahwa saya memiliki kekuatan untuk menghadapi fakta tersebut.
Anyhow, dalam postingan singkat ini saya mau menyampaikan (barangkali lebih untuk mensugesti diri sendiri tapi whatever) bahwa bergantung atau berharap pada orang lain adalah sesuatu yang sedikit banyak berbahaya pada masa ini. Berulang kali saya sampaikan dan saya temukan sendiri bagaimana orang-orang pada akhirnya akan berubah dan agak sia-sia belaka. Identitas kita ditentukan suka-suka saja bergantung pada nuansa atau paradigma yang kita temui. Ini masih menjadi PR sebelumnya untuk bagaimana bisa menjustifikasi bagaimana identitas dan praktik sosial berkelindan. Soal kebersamaan kita tahu bahwa pada dasarnya itu subjektif saja, yang sendiri atau yang bersama, kedua-duanya toh akan menjadi neraka belaka.
Ouch, so dark!
scriptammanent