scriptamanent

"Veritate Perempta Novam Sententiam Petimus"

Month: May, 2021

The Lone Ranger

Dalam satu bagian buku catatan etnografi “Tempat Terbaik di Dunia”nya, Roanne van Voorst pernah menjelaskan bagaiman orang-orang Indonesia agaknya memandang orang yang sendiri secara, well, menurutnya aneh. Selalu ada bagi mereka kecenderungan untuk menemani orang-orang agar tidak sendiri. Kemanapun Roanne pergi, tulisnya, selalu ada yang membuntuti agar dirinya tidak sendirian baik ke pasar atau mengambil data etnografinya. Bagi Roanne yang notabenenya berasal dari Belanda, hal tersebut terasa asing baginya jika tidak dibilang membuatnya rikuh. Terlebih, dia mengakui dalam salah satu bagian tulisannya bahwa ia cenderung orang yang introvert. Dia membutuhkan waktu sendirian untuk kembali mengisi energinya ketika bertemu orang-orang dan untuk itu, dia sangat membutuhkan me time. Ia kemudian mendapatkan waktu tersebut dan memanfaatkannya untuk menonton di bioskop untuk kemudian, secara komikal, ia menceritakan bahwa di dalam bioskop ia malah mendapat teman lagi beberapa bocah yang disuruh duduk dekatnya oleh ibu mereka.

Pengalaman Roanne van Voorst sangat wajar mengingat bangsa ini adalah bangsa yang sangat komunal dan di tengah gempuran berbagai nilai-nilai yang menjunjung tinggi kebebasan individu yang berkembang menjadi individualisme, komunalitas masih dapat ditemukan dengan sangat tebal pada berbagai sudut-sudut masyarakat. Barang tentu, nilai individualisme ini (karena datangnya dari “barat”) dipromosikan sebagai suatu progres dimana para penganutnya berada pada garda terdepan front “woke”. Tak heran bahwa praktisinya adalah golongan muda yang berjejal-jejal di urban atau daerah-daerah peri-urban. Akan tetapi, sesuai dengan tesis Boeke mengenai dualisme kapital yang terjadi pada era kolonial, saya pikir saudara-saudara saya setanah air (terutama di Jawa lebih tepatnya tempat saya tinggal saat ini) sangat terampil dalam meracik dan mendialogkan kutub-kutub antagonis suatu spektrum pemikiran. Menghasilkan hibrid-hibrid yang unik.

Individualisme menghasilkan keturunan sahih: kesendirian. Roanne dengan apik juga menjabarkan bagaimana orang yang sendiri umumnya dikasihani. Secara turun-temurun tinggal dalam suatu komunitas membuat kita tidak terbiasa dengan kesendirian. We pity the loner. Secara pribadi, saya pernah mengalami fase-fase ini selama SMP dan SMA. Ada masanya, saya memilih meringkuk kelaparan di kelas karena tidak punya teman yang bisa saya ajak ke kantin untuk makan. Saya khawatir dan merasa insecure berlebihan dan merasa menjadi liyan yang aneh bila saya berjalan sendirian tanpa teman. Saya tidak paham mengapa demikian, namun dalam rasionalisasi saya sebagai seorang juvenile yang tengah tumbuh dan menyandarkan jatidirinya pada kesadaran kelompok, kesendirian adalah tabu pribadi. Terlebih lagi, SMA saya sangat menjunjung tinggi solidaritas dan identitas kolektif: saudara satu Kolese Gonzaga.

Saat ini saya paham bagaimana kesadaran kolektif itu pada dasarnya delusif. Kami di sekolah itu pada dasarnya adalah medioker. Tidak berprestasi namun juga bukan kelompok masyarakat yang tidak bergunan. Kami hanya rata-rata, papan tengah saja. Hal tersebut saya sadari ketika saya kuliah saya menemukan orang-orang yang luar biasa cemerlangnya dan kelompok kami tidak lebih dari setetes air hujan di tengah samudera. Untuk mengkompensasinya, kami perlu meminjam superioritas anggota individu lain dan mencampurkannya dengan identitas kolektif kami supaya kami mendapat sedikit kepercayaan diri.

Saya melangkah masuk ke masa universitas dengan membawa rasa insecure yang sama terhadap kesendirian. Sungguh demikian, hampir 5 tahun saya tidak pernah memiliki ruang pribadi. Setahun pertama saya habiskan mengontrak bersama teman-teman untuk selanjutnya saya tinggal dan hidup di sekretariat. Hanya pada tahun 2015 ketika akhirnya orang tua saya tidak sudi lagi membayarkan biaya kost-kostan saya kemudian pindah bersama eyang saya. Pada masa itu pula untuk pertama kalinya saya mendapat kamar sendiri yang bisa saya tempati tanpa perlu melihat orang lain sebelum dan sesudah tidur. Pola hidup saya semakin soliter seiring dengan penghuni rumah yang saya tempati meninggalkan tempat ini dan menyisakan saya, sendiri.

Kesendirian itu terkadang adiktif, saya harus mengakuinya. 5 tahun berikutnya adalah masa dimana hampir seluruh teman-teman saya berkeluarga dan akhirnya menyendiri bersama pasangan dan anak-anaknya. Saya merasa seluruh momentum saya tepat. Saya cukup banyak hidup secara komunal untuk kemudian merasa siap untuk menghadapi fakta bahwa saya dapat saja menghadapi hidup sendiri. Selain itu, saat ini saya masih memiliki komunitas dan teman-teman yang sewaktu-waktu dapat saya hampiri kapan pun saya butuh teman dan saya tahu saya sendiri namun tidak sendirian. Sembari menjalani cara hidup demikian, saya terus-menerus mensugesti diri bahwa people won’t last. Mereka akan pergi atau mati dan itu hanya masalah kapan dan dimana. Saya cukup tenang dan bahagia bahwa saya memiliki kekuatan untuk menghadapi fakta tersebut.

Anyhow, dalam postingan singkat ini saya mau menyampaikan (barangkali lebih untuk mensugesti diri sendiri tapi whatever) bahwa bergantung atau berharap pada orang lain adalah sesuatu yang sedikit banyak berbahaya pada masa ini. Berulang kali saya sampaikan dan saya temukan sendiri bagaimana orang-orang pada akhirnya akan berubah dan agak sia-sia belaka. Identitas kita ditentukan suka-suka saja bergantung pada nuansa atau paradigma yang kita temui. Ini masih menjadi PR sebelumnya untuk bagaimana bisa menjustifikasi bagaimana identitas dan praktik sosial berkelindan. Soal kebersamaan kita tahu bahwa pada dasarnya itu subjektif saja, yang sendiri atau yang bersama, kedua-duanya toh akan menjadi neraka belaka.

Ouch, so dark!

scriptammanent   

coba

jenuh. sendiri. lelah. bingung. mau kemana. mau apa.

tidur sejenak. menyambut esok yang juga sama saja.

jauh namun riuh. dekat namun pekat.

kata-kata. hamba pada hampa.

sebatas cerita. apa dikata. segalanya sempurna.

hanya apabila…

39 Derajat Dari Dubai

Pukul 4 sore. Pesawat yang kutumpangi terpelanting perlahan untuk kemudian semakin mapan menjejak landasan. Hampir 4 jam perjalanan sudah kujalani di dalam pesawat dan kubilas mataku dengan guyuran pemandangan gurun dan padang pasir yang tak berkesudahan selama aku terbang di langit Tajikistan dan Iran. Padang pasir, bagaimanapun adalah salah satu tempat paling ajaib yang bisa kupikirkan. Dari rahimnya lahir peradaban-peradaban tertua. Menariknya justru dari tempat yang sarat kematian itu manusia merajut awal-awal peradaban dan selama beberapa milenium terus mempertahankan kehidupan yang demikian. Aku menyaksikan sendiri ladang-ladang dan saluran irigasi berkerumun di satu lokasi bak pulau yang terasing di tengah samudera. Barang tentu mereka mencuri perhatianku sepanjang perjalanan dan membombardirnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang kujawab dengan liar. Sungguh menyenangkan.

Di bangkuku hanya ada dua orang. Rekanan sebelahku adalah seorang ibu muda berjilbab yang mengenakan kaos flanel dan celana jeans ketat. Ia tak ada berbedanya dengan mojang Bandung yang tengah nongkrong dengan gaya casual di kawasan Cihampelas. Fakta bahwa aku berada ribuan kilometer di sebelah barat laut Kota Bandung dan menemukan fenomena fashion yang sama cukup menarik. Kami tak bicara sepanjang perjalanan. Kendala bahasa tentu saja dan ia juga tak tampak begitu ramah. Perjalanan ini pasti membosankan baginya, aku mafhum.

Sembari pesawatnya melambat, aku kembali teringat beberapa hal sebelum berangkat. Pagi itu Abba sudah menyiapkan taksi yang tak kusangka-sangka menggunakan BMW untuk kendaraannya. Sepanjang perjalanan dari hostel hingga bandara kami tak banyak bicara. Aku sudah pernah berkendara dengan Ruslan-bek di negara ini jadi kurasa aku sudah membiasakan diri. Pagi hari di Bishkek cukup berwarna, kami melewati pasar barang bekas sebelum masuk ke jalan tol dan mengarah langsung ke Manas. Bandara yang dinamakan persis pahlawan legendaris Asia Tengah.

Aku menunggu di bandara hampir 4 jam lamanya. Sengaja kubuat demikian karena bagaimanapun berada di bandara membuatku tenang. Aku tengah ingin pulang dan berada dekat dengan fakta bahwa aku akan tiba di rumah membantuku meredakan rasa demikian. Selama mengantri check in aku ditemani serombongan syekh entah darimana yang amboi, flamboyan betul. Aku suka memperhatikan orang timur tengah. Sepanjang yang kutemui di bandara mereka semerbak wangi rempah-rempah dengan banyak ornamen emas mulai dari lencana hingga pena yang disematkan dalam kantung baju mereka. Saat mengantri mereka bicara Bahasa Arab sangat cepat hingga yang kutangkap hanya suara tersedak dari tenggorokan dan huruf ‘f’ tercampur baur. Setelah check in aku masuk ke ruang tunggu dan untuk membunuh waktu, masuk ke dalam satu toko yang sama hingga tiga atau empat kali. Bandaranya kecil sekali. Hingga tiba waktunya boarding lalu mendaratlah aku di episentrum modernitas timur tengah: Dubai.

Aku diterjang hawa panas padang pasir ketika turun dari pesawat. Di tengah kekagetan aku langsung merasa gembira. Kembali ku merasakan hembusan angin yang sudah berkelana di padang pasir selama berabad-abad. Warna kuning dan jingga memenuhi cakrawala dan pencakar langit kokoh bak menyangga langit. Kulangkahkan kaki menuju bagian imigrasi. Cek paspor dan sebagainya, aku langsung diarahkan menuju Terminal 3. Ini dia bagian yang aku tunggu-tunggu. Pada saat aku berangkat, aku transit di Terminal 2 yang sempit dan tak menarik. Lebih serunya lagi, aku transit hampir selama 20 jam ketika berangkat, kurang 4 jam saja untuk harus mengajukan visa kunjungan di Uni Emirat Arab.

Untuk tiba di Terminal 3 aku menggunakan dua moda transportasi. Setelah naik bis aku kemudian berganti menggunakan trem untuk sampai langsung ke Terminal 3. Begitu sampai, aku melihat gegap gempita kapitalitas. Ratusan toko dan butik berjejer-jejer menjajakan pakaian, parfum, dan makanan. Barang tentu semuanya hanya singgah sebentar di sudut mataku, aku tak punya uang untuk segala hal tersebut. Untuk makan malam saja aku hanya membekali diri dengan dua potong kentang rebus yang kumasak di lodge abba, dilengkapi dengan beberapa potong keju dan potongan daging sapi yang disiapkan Ira untukku. Sebagian kubagi malam ini dan sisanya kumakan besok untuk sarapan sebelum mendapat jatah makan siang di pesawatku. Aku tidak khawatir soal makanan, dalam kondisi seperti ini aku lebih risau soal air maka prioritas pertamaku untuk survive adalah menemukan water fountain dan tempat tidur. Aku menemukan keduanya dimana-mana. Aku aman.

Pesawatku masih akan berangkat pukul 10 esok paginya dan ini masih belum jam 6 waktu setempat. Untuk membunuh waktu aku memutuskan menghabiskan seluruh bangunan Terminal 3 ini. Selain bahwa tempat ini lebih mirip mall timbang bandara, tidak ada yang terlalu spektakuler. Barangkali juga karena aku tidak punya kuasa untuk belanja. Namun bandara ini punya pojok menarik mengenai Syekh Zayed. Ia adalah founding father UEA dan orang yang sanggup menyatukan 7 emir dan masing-masing menjadi provinsi di UEA antara lain Abu Dhabi, Ajman, Dubai, Fujairah, Ras Al Khaimah, Emirate of Sharjah, dan Umm Al Quwain.

Dubai melesat begitu cepat. Dari yang dulunya kota-desa nelayan yang terbelakang, ia kini terlontar jauh ke depan dan memimpin kota-kota impian di planet ini. Tren ledakan minyak bumi tahun 1970-an membuat salah satu keemiran ini seperti punya sumberdaya yang tak terbatas. Uang berkelindan liar dengan imajinasi, teknologi, dan hasrat kekuasaan, menjadikan kota ini tampak seperti dicerabut dari masa depan dicampakan ke masa kini. Dan fenomena demikian bisa dengan mudah di Dubai International Airport, salah satu landmark kota ini.

Pukul 10 malam aku sudah meringkuk di salah satu pojok bandara. Entah dari mana, aku menemukan selimut yang dapat kugunakan untuk menambah kenyamanan. Sementara di sekelilingku ada segerombolan turis entah dari mana berbicara dengan sangat cepat. Pembicaraan mereka menjadi lagu pengantar tidurku.

(*)

Aku terbangun sekira pukul 6 pagi dan dengan nanar menatap luar jendela raksasa sementara puluhan pesawat mulai hilir mudik. Wajahku menynggingkan senyum kecut mengingat pagi ini seharusnya aku berada di Jogja untuk wawancara beasiswa LPDPku sementara aku terdampar lebih dari 5000 km jaraknya. Aku menikmati ironi tersebut sebagai suatu cerita yang barangkali bisa kubagikan. Dan ini lah dia. Sambil meregangkan tubuh aku mulai bersiap-siap beraktivitas. Bandara ini punya 60 gates dan aku perlu mencari di gate mana pesawat ke Indonesia berada.

Menjelang keberangkatan, sahut-sahut bahasa yang kukenal mulai bising terdengar. Logat sunda dan jakarta menyemarakan suasana ruang tunggu di Gate 57. Aku sudah tidak sabar ingin pulang.

scriptammanent