scriptamanent

"Veritate Perempta Novam Sententiam Petimus"

Month: October, 2020

In Harmonia Progressio

Epos kepahlawanan dan segala citra di baliknya adalah fabrikasi. Ada pemenang yang menulis ulang seluruh narasi peristiwa-peristiwa tersebut, mengarahkan pandang khalayak pada satu titik yang dikehendaki.

Anjay, kayak pengantar-pengantar di Mata Najwa ya.

Tapi yah, belakangan saya semakin merasa terganggu dengan fakta-fakta bahwa rasanya sulit betul menjalani hidup dengan lurus-lurus saja. Hampir sama susahnya dengan menjaga perilaku sesuai tutur kata. Selalu ada persimpangan untuk menjadi seorang jahat nan bejat baik di bawah terang sorot lampu maupun mengendap-endap di dalam bayang-bayang. Sama saja dimana-mana, mulai dari lini masa media sosial hingga dingin-bekunya dinding-dinding kantor pemerintahan. Dalam banyak kasus, jalan hidup kita sama terfabrikasinya seperti epos-epos baik yang lawas maupun yang terkini dan ditentukan oleh yang punya kuasa. Struktur kuat dan kalau ada sedikit mencelat juga tak jauh kemana. Privilise katanya, barangkali benar juga.

Bahwa dikotomi benar salah dan hitam putih, dwi yang saling berselisih menjadi dasar pemikiran adalah benar belaka. Kita mewarisi nuansa, paradigma semacam ini dari para pemikir Yunani berpuluh abad yang lampau. Dunia ini, kata mereka, terbagi atas dua unsur, saling bertentangan dan saling mematikan dan makan memakan: gelap-terang, baik-buruk, tuhan-iblis, pria-wanita, sekali lagi dwi yang saling beroposisi. Oposisi biner katanya, barangkali benar juga.

Apa yang benar tidak bisa salah dalam satu kesempatan waktu sebagaimana Bunga Mawar tidak bisa menjadi bukan Bunga Mawar secara bersamaan. P dan non-P tidak bisa eksis dalam satu dimensi lurus ruang-waktu. Jika ia ditekuk barangkali lain persoalan tapi selama kita berada dalam jalur lurus, prinsip itu berlaku. Segalanya punya kamar yang berbeda-beda untuk tidur dan berperilaku.

Dan di atas fondasi ini kita merajah kemajuan.

Tidak ada yang terlalu penting di dunia ini, segalanya hanya berada sementara lalu larut ditelan proses dan dinamika. Tak ada yang abadi katanya, Pantha Rei. Barangkali benar juga.

scriptammanent

Libertarian

Beberapa hari belakang, sambil agak semangat karena sudah menuliskan dua postingan setelah berbulan-bulan vakum, saya menyempatkan untuk blog walking, mengunjungi beberapa blog milik teman-teman. Blog-blog ini dulu sempat hingar bingar, ramai oleh postingan mulai dari pemikiran berat hingga curhat remeh temeh soal kegalauan usia atau pasangan yang dicinta. Beberapa lain menganggapnya sebagai ekspresi ideologi atau bahkan alter ego, sungguh luar biasa tampaknya.

Namun sekarang sepi, kalau ada posting, paling-paling sama seperti blog ini kemarin, diunggah berbulan-bulan lampau.

Sedih rasanya namun saya bisa memahami karena saya baru saja mengalami. Kalau merunut ke beberapa postingan-postingan lama di blog itu atau berkaca dari pengalaman sendiri, transisi masa SMA ke kuliah atau masa awal-awal menjadi waktu rajin-rajinnya orang menulis blog. Terus menerus hingga bertemu dengan skripsi lalu lulus lalu tumpas sudah. Baik, mari kita tuding skripsi saja sebagai penyebab hilangnya gairah tulis menulis di blog ini. Masa setelahnya, masa dewasa adalah masa dimana bertahan hidup menjadi yang utama. Cari kerja, berkeluarga, lalu punya anak, mana sempat menulis soal hari-hari di blog.

Begitu lah saya pikir kedewasaan menjadi barang yang menarik. Sedikit berbagi, saya pun telah mendarat dalam kondisi seperti itu. Menulis di blog mengenai apa yang saya alami sehari-hari atau pemikiran atau semangat yang rasakan sudah kehilangan banyak relevansinya dan akan tersungkur tercukur oleh pertanyaan kecil: ‘buat apa sih?’. Idealisme dan kenaifan masa muda yang dibungkus semboyan ala ‘menulis adalah bekerja untuk keabadian’ rasa-rasanya juga sudah sedikit banyak tanggal di tengah perjalanan. Punya waktu luang untuk berpikir dan menulis saja rasa-rasanya menjadi suatu kemewahan tersendiri. Begitu bukan?

Saya, sambil mewakili beberapa teman-teman di generasi saya tumbuh dalam ruang yang sangat ekspresif. Media sosial dan internet menjadi ruang utama yang saya maksud tersebut dimana segala perasaan, kekhawatiran, keresahan, dan kagalauan tumpah ruah dan saling dicekokan ke satu sama lain. Well-beingness menjadi esensial dan apa yang kami rasakan, apakah nyaman atau bahagia atau tidak menjadi tolok ukur utamanya. Tak peduli bagaimana generasi ini melumat tabu atau mematahkan tradisi, selama orang-orang merasa nyaman untuk melakukannya maka tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Sangat fundamental, sangat libertarian.

Setidaknya beberapa kejadian beberapa waktu ke belakang menjadi contoh gamblang. Angkatan muda milenial turun ke jalan karena generasi sebelumnya yang pro otoritas, golongan konservatif semakin menunjukan kebrengsekannya. Indonesia melihatnya dalam proses pembuatan produk legislasi seperti revisi UU KPK dan pembuatan UU Cipta Kerja. Di Thailand, generasi ini juga turun ke jalan untuk menentang monarki yang tidak tersentuh pada masa dulu, menyebabkan perpecahan antara generasi orang tua pro monarki dan generasi muda anti monarki. Menarik sekali melihatnya.

Saya sendiri mencoba mengejawantahkannya dalam keseharian saya di pinggiran. Selama saya masih nyaman dengan laptop dan windows new post atau dengan segelas wedang jahe di Jalan Parangtritis di kala malam saya tahu saya baik-baik saja. Sangat fundamental, sangat libertarian.

scriptammanent

Intifada

Kalau ada salah satu hal yang saya suka sebal selama ini, itu pasti adalah militerisme. Ia adalah sikap atau paham yang menempatkan militer sebagai prioritas jadi jangan salah artikan dengan militer, saya tidak pernah punya masalah dengan tentara dan semoga tidak, takut sewaktu-waktu dibedil. Saya lebih sebal dengan pahamnya terutama sekali bilamana ada teman-teman sipil yang bertindak selayaknya militer.

Militansi bagi saya sudah mati. Militansi adalah paham tertutup, tidak cocok dan kontekstual lagi dengan situasi dunia yang begitu dinamis seperti saat ini. Kita sudah melihat bagaimana lanskap konflik dunia pada dasarnya sudah berubah sedemikian rupa sehingga, generasi muda di tahun 60-an menolak militerisme berkedok patriotisme seperti pada Perang Vietnam. Pun sekarang, nasionalisme dan patriotisme juga sudah mulai banyak dikritisi bahwa mengejawantahkan cinta tanah air dengan mengangkat bedil atau baris-berbaris dijemur di bawah matahari bukan lagi satu-satunya jalan. Karenanya saya tidak sepakat dengan wajib militer, malas saya.

Lebih-lebih kita melihat juga bagaimana kini, nasionalisme dan patriotisme menjadi alat atau ideologi yang malah digunakan untuk menindas orang lain, sungguh keterlaluan. Bahkan terkadang digunakan sebagai tolok ukur kualitas seseorang seakan saya bisa lebih baik dari Anda karena merasa lebih nasionalis atau patriotis, sama halnya seperti agama saja. Bung dan nona ketahuilah bahwa dengan segala batas-batas pemikiran telah mencair dan otoritas kebenaran agaknya bisa menjadi milik segelintir orang saja, semua bisa mengklaim dirinya adalah pemilik dunia atau surga. Dengan begitu, peperangan atas nama bela negara atau agama terasa jadi begitu jauh di ufuk sana dan tak lebih dari sia-sia. Saya kini lebih memilih perjuangan atas nama penguasaan sumberdaya dan ruang hidup, basis material. Identitas atau sejarah barangkali bisa menjadi alasan berikutnya.

Menariknya adalah, kita lihat bagaimana kalangan sipil gitu mulai gandrung sekali untuk menunjukan atribut-atribut militer. Ini yang disebut oleh Ikhsan Yosarie dalam esainya di KOMPAS beberapa bulan lampau sebagai Neo-militeristik Sipil. Ia mengatakan bahwa contoh paling terang-benderang adanya atribut militer dalam sipil adalah penggunaan kata-kata ‘siap’, ‘lapor’, ‘izin melaporkan’, atau ‘izin menunggu arahan’ dalam penggunaan sehari-hari. Saya sendiri suka rikuh menggunakan istilah seperti itu sebab kalau ada yang lebih saya sebal dari militerisme itu adalah sipil yang berlagak militer. Ya, termasuk organisasi para-militer yang pamer rame-rame di jalanan.

Bagaimanapun tapi, saya bisa memahami jika ada teman-teman saya yang gandrung betul dengan nuansa militeristik. Kita di Indonesia dibesarkan dalam suasana militer selama Orde Baru dan beberapa kali punya presiden berlatar belakang militer. Akibatnya barang tentu terjadi over glorifikasi militerisme. Apalagi, bukti nyata, dengan mengaku sebagai ‘anggota’ ada orang-orang yang memiliki kekuatan lebih untuk bertindak semaunya.

Terakhir, saya termasuk pendukung penuh pemisahan tegas antara militer dan sipil (seperti halnya pemisahan agama dan negara). Keduanya tidak akan nyambung dan relasinya tidak seimbang karena perbedaan paradigma dan habitus yang nyata sekali. Pemisahan tersebut bukan hanya dalam hal yang besar seperti urusan posisi di pemerintahan tapi juga hal-hal kecil seperti atribut dan cara komunikasi. Biar lah sipil menjadi sipil dengan segala kebebasannya dan militer menjadi militer dengan struktur komandonya.

Sambil bermimpi bahwa suatu hari nanti kita tidak lagi butuh adanya tentara atau senjata. Naif yah? Biar lah.

scriptammanent

Kedatuan

Hai. Halo.

Sudah berbulan-bulan semenjak niat ingsun untuk memulai postingan setiap hari. Begitulah, niat ditanamkan lantas layu tak lama setelahnya. Kesempatan kali ini barangkali saya mencoba lagi untuk kembali ke jalur niatan itu, kita lihat nanti coba.

Bukan tanpa sebab, rasa-rasanya saya mulai merasakan perubahan besar semenjak dipaksakan mengubah gaya hidup karena pandemi. Beberapa bulan ke belakang, didorong juga dengan beban kerja yang sangat kendur menjadi sangat tergantung pada media sosial, internet, dan turunannya. Ini sungguh melelahkan. Sedikit bercerita, saya mulai sering kehilangan fokus dan cepat terdistraksi. Kemampuan baca saya menurun karenanya dan karena jarang dipakai menulis, saya sering tergagap untuk merangkai sebuah tulisan bahkan untuk blog ini saja.

Mencoba keluar dari situasi demikian, saya memutuskan untuk kembali menjalankan gaya old-school. Mudahnya saja, rajin kembali membaca buku dan artikel. Twitter saya kurangi dengan tidak lagi memasang appsnya di handphone dan hanya membukanya di laptop sekadar untuk mengetahui apa apa saja yang terjadi. Cukup sulit awalnya namun perlahan mulai bisa saya biasakan. Sebagai hasilnya dua hari yang lalu saya mampu menumpas setengah novel pada waktu tengah malam.

Saya sendiri terkejut dengan hal tersebut mengingat sebelumnya, saya mencoba membaca 5 lembar saja sudah pasti kemudian terkapar tidak sadar. Dan seperti biasa, saya ingin berbagi apa yang saya baca kepada para pemirsa. Setelah membaca, menuliskannya menjadi poin yang saya pikir cukup krusial. Novel yang saya baca karangan Conn Igulden berjudul Lords of the Bows, menceritakan penggal singkat awal penaklukan Mongol di bawah kepemimpinan Genghis Khan. Igulden mengambil bagian penyerangan Genghis ke Yenking (atau Peking atau Beijing), pusat pemerintahan bangsa Chin pada masa itu.

Saya tertarik dengan kisah-kisah bagaimana bangsa barbar (savages) mampu menggilas suatu tatanan masyarakat mapan yang mengembangkan sistem sosial dan ekonomi yang sangat mumpuni (sophisticated). Selain kisah Mongol, saya juga tertarik mengikuti serial Viking, biopik Ragnar Lothbrook yang dibuat oleh History Channel. Di bawah kepemimpinan King Ragnar, para Viking berhasil menyebrang dan mendobrak kerajaan-kerajaan di daratan Inggris hingga penyerangan ke Paris dan Andalusia.

Interaksi antara suku-suku masyarakat dengan tatanan yang mapan tidak berhenti hanya disitu. Di masa kini pun kita bisa melihat bagaimana ketegangan itu berinteraksi meski dalam bentuk yang lebih cair dan tentu saja tidak diwarnai bentrokan fisik dan pertumpahan darah. Nilai-nilai kesukuan yang berciri masyarakat bebas, desentralistik, spiritual, dan separo anarko dapat kita lihat praktiknya pada orang-orang yang berada di pinggiran dengan hal yang sebaliknya kita temui di pusat-pusat perkotaan. Ia akan terus ada dan berevolusi.

Satu bagian di novel Igulden yang menarik bagi saya adalah bagaimana strategi Suku Chin yang memasukan penyusup bernama Ma Tsin untuk mencoba untuk menyuap Kokchu, shaman Genghis untuk mengakhiri pengepungan terhadap Yenking. Kokchu sebagaimana kesukuan tidak mengenal konsep material berupa emas, berlian, dan mata uang. Ditawari sejumlah besar uang ia bergiming karena menurut Kokchu tak ada hal yang dapat ia lakukan dengan setumpuk kekayaan. Bilamana Kokchu ingin kuda ia tinggal mengembangbiakannya, bilamana Kokchu ingin makan enak ia tinggal mencari domba yang paling gemuk, tidak perlu ada yang ditukarkan atau diperjualbelikan.

Dan dengan mentalitas seperti ini, Bangsa Mongol menegakan Pax Mongolica mulai dari Pantai Timur Cina hingga menyentuh Laut Kaspia dan tiba di perbatasan Rumania.

Sudah dulu ah, lanjut kerja lagi. Semoga besok saya bisa melanjutkan postingan-postingan singkat model begini.

scriptammanent