Kalatida
Amenangi jaman edan
(Ranggawarsita, Serat Kalatida, Sinom, bait 7)
ewuh aya ing pambudi
melu edan nora tahan
yen tan melu anglakoni
boya kaduman melik
kaliren wekasanipuh
ndilalah karsa Allah
begja-begjane kang lali
luwih begja wong kang eling lawan waspadha
Pandemi COVID-19 memunculkan berbagai pengetahuan dan informasi baru terhadap kita. Salah satu yang barangkali cukup menarik adalah bahwa kini saya, setidaknya, cukup tahu secara lebih mendetil bagaimana sejarah pandemi dan wabah berulangkali menghantam planet tempat kita tinggal ini dan berkali-kali pula manusia berhasil mengatasinya. Perkembangan ilmu pengetahuan yang menelurkan teknologi dan pengobatan menjadi salah satu faktor yang mengatasi wabah mulai dari the black death, flu spanyol, SARS, atau MERS.
Posisi wabah dalam konstelasi sejarah kita membuat juga mempelajari bahwa sejarah berulang. History repeats itself. Yang membedakannya untuk masa sekarang adalah bahwa kini pandemi atau wabah bukan lagi soal semata-mata kesehatan atau kualitas hidup. Kompleksitas kehidupan manusia membuat pandemi ini menjadi centang perenang dan tumpang tindih berbagai kepentingan. Sebut saja dari yang ribut-ribut soal ekonomi, hukum, politik, hingga kebudayaan. Bahwa sejarah berulang itu betul adanya namun yang perlu manusia sadari periodisasi perulangan sejarah tidak sama. Seiring perkembangan manusia, tantangan dan keruwetan yang dihadapi juga akan bertambah.
Kita sebagai penonton masih bisa punya keyakinan bahwa ini akan berakhir pada suatu masa nanti. saya belum menemukan satu pun pendapat yang menyatakan bahwa pandemi ini adalah akhir dari kemanusiaan. Kehidupan kita memang porak poranda menjadi puing-puing dan diatasnya kiat akan membentuk kembali bangunan keseharian bernama Normal Baru yang semakin lama semakin njelehi saja mendengarnya namun toh kita akan melewatinya ada komponen dalam mesin peradaban yang tengah bekerja begitu keras untuk mengatasinya. Sang pencipta tidak melupakannya dan kita sebagai manusia yang berbudaya juga akan terus mengembangkan dan menyempurnakannya, selalu demikian.
Siklus ini, di Indonesia sendiri terjadi dalam berbagai periode dan bentuk. Berkali-kali, semenjak manusia nusantara menyadari keberadaan dirinya, ia dihantam dengan berbagai cobaan yang sifatnya masal dan tampak tidak ada harapan. Masa-masa kegelapan tersebut, meskipun sangat pahit dan begitu menyesakkan, toh dapat menghasilkan produk-produk budaya yang, jika tidak bermanfaat setidaknya sangat indah. Kita tahu toh bahwa banyak sekali artefak dan produk kebudayaan manusia yang dilahirkan dari tempat dan kondisi yang tidak masuk akal, menjijikan, atau penuh kehancuran. Perang Dunia 2 dengan puluhan juta korban dan kematian memberikan kita teknologi jet dan PBB yang tanpanya akan sulit membayangkan bagaimana kehidupan modern semacam ini.
Realitas, dalam kebijaksanaan kuno, berjalan dalam suatu siklus kelahiran, kehidupan, dan kehancuran. Hidup manusia berjalan sedemikan adanya begitupun seluruh elemen yang ada di semesta ini. salah satu siklus atau penggal sejarah yang dimaknai secara arif adalah siklus Kalatida, Kalabendu, dan Kalasuba. Setiap kala atau penggal waktu menggambarkan bagaimana stabilitas yang ada di realitas dan semesta ini. Ngabehi Ranggawarsita sendiri punya penggambaran mengenai masa Kalatida yang ditandai dengan keragu-raguan dan kegelapan bahwa segalanya tampak akan membingungkan dan tidak ada yang tampaknya dapat dipercaya. Siklus akan berlanjut ke Kalabendu saat stabilitas tercapai dengan kekerasan hingga kemudian Kalasuba sebagai masa yang ajeg dan kemakmuran tercapai.
Kita melihat bagaimana kompleksitas mengacaukan kewarasan dan menyiksa jiwa serta ketenangan kita sebagai manusia modern yang berdiri atas diatas rasionalisasi dan produktivitas. Hakikat dan kesadaran eksistensial kita sebagai manusia betul-betul dicerabut dan diporak-porandakan oleh kungkungan dan kenyataan bahwa kita tidak berdaya. Di sisi lain, kebebasan berpikir dan kemampuan kita sebagai individu yang unik tidak terbendung dan meletup-letup ke permukaan bahwa kita tahu yang terbaik bagi diri kita sendiri. Kita menahannya barangkali namun jauh di dalam lubuk hati kita tidak terima dibeginiin, OMG, aing teh butuh kerja sama nyari hiburan.
Benturan agen dan struktur adalah keniscayaan dan jelas akan melahirkan keraguan dalam diri masing-masing individu. Tampaknya saya memiliki pendapat yang baik untuk menahan beban akibat pandemi ini namun kenapa yang saya lihat di realita tidak seperti apa yang saya pikirkan? Apa yang salah? Mengapa demikian? Lihat betapa banyaknya kebingungan dan pertanyaan yang dapat kita hadapi kini? Sifat menyerah pada kebingungan dengan memutuskan bahwa diri sendiri yang benar adalah tanda kesombongan dan jelas kesombongan manusia yang pada akhirnya akan menerjunkan kita bersama dalam lembah kelam.
Oh ya mari sementara menghadapi pertanyaan sampai kapan, kita mendengarkan “Waiting On The World To Change”.
scriptammanent