scriptamanent

"Veritate Perempta Novam Sententiam Petimus"

Month: May, 2020

Kalatida

Amenangi jaman edan
ewuh aya ing pambudi
melu edan nora tahan
yen tan melu anglakoni
boya kaduman melik
kaliren wekasanipuh
ndilalah karsa Allah
begja-begjane kang lali
luwih begja wong kang eling lawan waspadha

(Ranggawarsita, Serat Kalatida, Sinom, bait 7)

Pandemi COVID-19 memunculkan berbagai pengetahuan dan informasi baru terhadap kita. Salah satu yang barangkali cukup menarik adalah bahwa kini saya, setidaknya, cukup tahu secara lebih mendetil bagaimana sejarah pandemi dan wabah berulangkali menghantam planet tempat kita tinggal ini dan berkali-kali pula manusia berhasil mengatasinya. Perkembangan ilmu pengetahuan yang menelurkan teknologi dan pengobatan menjadi salah satu faktor yang mengatasi wabah mulai dari the black death, flu spanyol, SARS, atau MERS.

Posisi wabah dalam konstelasi sejarah kita membuat juga mempelajari bahwa sejarah berulang. History repeats itself. Yang membedakannya untuk masa sekarang adalah bahwa kini pandemi atau wabah bukan lagi soal semata-mata kesehatan atau kualitas hidup. Kompleksitas kehidupan manusia membuat pandemi ini menjadi centang perenang dan tumpang tindih berbagai kepentingan. Sebut saja dari yang ribut-ribut soal ekonomi, hukum, politik, hingga kebudayaan. Bahwa sejarah berulang itu betul adanya namun yang perlu manusia sadari periodisasi perulangan sejarah tidak sama. Seiring perkembangan manusia, tantangan dan keruwetan yang dihadapi juga akan bertambah.

Kita sebagai penonton masih bisa punya keyakinan bahwa ini akan berakhir pada suatu masa nanti. saya belum menemukan satu pun pendapat yang menyatakan bahwa pandemi ini adalah akhir dari kemanusiaan. Kehidupan kita memang porak poranda menjadi puing-puing dan diatasnya kiat akan membentuk kembali bangunan keseharian bernama Normal Baru yang semakin lama semakin njelehi saja mendengarnya namun toh kita akan melewatinya ada komponen dalam mesin peradaban yang tengah bekerja begitu keras untuk mengatasinya. Sang pencipta tidak melupakannya dan kita sebagai manusia yang berbudaya juga akan terus mengembangkan dan menyempurnakannya, selalu demikian.

Siklus ini, di Indonesia sendiri terjadi dalam berbagai periode dan bentuk. Berkali-kali, semenjak manusia nusantara menyadari keberadaan dirinya, ia dihantam dengan berbagai cobaan yang sifatnya masal dan tampak tidak ada harapan. Masa-masa kegelapan tersebut, meskipun sangat pahit dan begitu menyesakkan, toh dapat menghasilkan produk-produk budaya yang, jika tidak bermanfaat setidaknya sangat indah. Kita tahu toh bahwa banyak sekali artefak dan produk kebudayaan manusia yang dilahirkan dari tempat dan kondisi yang tidak masuk akal, menjijikan, atau penuh kehancuran. Perang Dunia 2 dengan puluhan juta korban dan kematian memberikan kita teknologi jet dan PBB yang tanpanya akan sulit membayangkan bagaimana kehidupan modern semacam ini.

Realitas, dalam kebijaksanaan kuno, berjalan dalam suatu siklus kelahiran, kehidupan, dan kehancuran. Hidup manusia berjalan sedemikan adanya begitupun seluruh elemen yang ada di semesta ini. salah satu siklus atau penggal sejarah yang dimaknai secara arif adalah siklus Kalatida, Kalabendu, dan Kalasuba. Setiap kala atau penggal waktu menggambarkan bagaimana stabilitas yang ada di realitas dan semesta ini. Ngabehi Ranggawarsita sendiri punya penggambaran mengenai masa Kalatida yang ditandai dengan keragu-raguan dan kegelapan bahwa segalanya tampak akan membingungkan dan tidak ada yang tampaknya dapat dipercaya. Siklus akan berlanjut ke Kalabendu saat stabilitas tercapai dengan kekerasan hingga kemudian Kalasuba sebagai masa yang ajeg dan kemakmuran tercapai.

Kita melihat bagaimana kompleksitas mengacaukan kewarasan dan menyiksa jiwa serta ketenangan kita sebagai manusia modern yang berdiri atas diatas rasionalisasi dan produktivitas. Hakikat dan kesadaran eksistensial kita sebagai manusia betul-betul dicerabut dan diporak-porandakan oleh kungkungan dan kenyataan bahwa kita tidak berdaya. Di sisi lain, kebebasan berpikir dan kemampuan kita sebagai individu yang unik tidak terbendung dan meletup-letup ke permukaan bahwa kita tahu yang terbaik bagi diri kita sendiri. Kita menahannya barangkali namun jauh di dalam lubuk hati kita tidak terima dibeginiin, OMG, aing teh butuh kerja sama nyari hiburan.

Benturan agen dan struktur adalah keniscayaan dan jelas akan melahirkan keraguan dalam diri masing-masing individu. Tampaknya saya memiliki pendapat yang baik untuk menahan beban akibat pandemi ini namun kenapa yang saya lihat di realita tidak seperti apa yang saya pikirkan? Apa yang salah? Mengapa demikian? Lihat betapa banyaknya kebingungan dan pertanyaan yang dapat kita hadapi kini? Sifat menyerah pada kebingungan dengan memutuskan bahwa diri sendiri yang benar adalah tanda kesombongan dan jelas kesombongan manusia yang pada akhirnya akan menerjunkan kita bersama dalam lembah kelam.

Oh ya mari sementara menghadapi pertanyaan sampai kapan, kita mendengarkan “Waiting On The World To Change”.

scriptammanent

Dari Redaksi Tanggal 21

Kita melihatnya dari hari ke hari di berbagai media, angka-angka terus menunjukan peningkatan serta menggambarkan kematian. Dimanapun kita membaca dan menyaksikan kekecewaan dan amarah begitu kental terasa adanya menyaingi kesedihan yang turut semakin mendalam.

Omg, negatif betul.

Yah kira-kira begitu gambaran muramnya namun saya rasa sudah terlalu banyak kemuraman yang beredar di sekitar kita dan tidak perlu lagi saya menambah-nambahi beban para pembaca yang barangkali mampir di tulisan saya ini. Segala hal tersebut baiknya kita terima sebagai bentuk kepasrahan dan kerendahatian kita bahwa kita sebagai makhluk selalu memiliki keterbatasan dari apa yang selalu kita bangga-banggakan. Begitu mungkin seperti narasi yang Anda baca dimana-mana saat ini.

Saya tentu saja ikut terkungkung dengan segala tekanan dan kebosanan yang menguji kewarasan. Setiap hari sebelum tidur atau kapanpun ketika saya merasakan aura negatif saya perlu berpikir dan mereset kembali alur persepsi saya dalam memahami segala yang pandemi terjadi belakangan ini. Meski demikian hampir setiap detiknya saya terhubung dengan dunia lewat berbagai gadget dan dunia maya. Saya kebanjiran informasi dan opini, sesuatu yang saya anggap sebagai hal yang menyenangkan. Bermandikan hal-hal demikian dan membuka diri serta pikiran melatih saya untuk dapat terus memisahkan apa yang sekiranya bisa saya ambil sebagai sarana penopang atau mana yang malah menenggelamkan dalam jurang keputusasaan. Kata orang-orang bijak bestari “your mind is like a parachute, it works only if it is opened”.

Membuka diri terhadap informasi agaknya dapat membuat saya terseret ke dalam arusnya. Saya berusaha keras betul untuk tetap dapat bertahan dan berpijak pada pikiran-pikiran yang saya anggap sehat: buku-buku, dokumenter, atau berita dari surat kabar terpercaya. Sebagai umpan balik, saya berusaha keras untuk dapat menuliskan setiap apa yang saya baca atau saya refleksikan ke dalam tulisan. Hampir dua bulan niat ingsun yang demikian hanya tergolek lemah menyerah pada kasur dan bantal-bantal kumal. Setiap membuka halaman untuk menuliskan sesuatu saya hanya dapat dua atau tiga paragraf untuk kemudian menutupnya dengan kemalasan.

Salah satu penyebabnya agaknya tren cara saya menulis di blog beberapa tahun belakangan ini. Blog ini, merupakan media sosial yang paling saya sukai baru kemudian twitter. Alasannya karena menyenangkan saja menulis sesuatu secara panjang dan relatif tidak terbaca oleh masyarakat. Twitter saya, meskipun hitungannya sepi namun bagi saya masih cukup banyak orang yang melihat dan berinteraksi dengannya. Saya tidak suka membagi banyak-banyak pemikiran kepada orang-orang. Facebook jelas sudah saya tinggalkan dan hanya saya intip jika ada keinginan namun mutlak saya tidak ingin berinteraksi disana. Kalau saya tidak mendeactivatenya, itu semata-mata ada arsip-arsip foto dan catatan yang saya tuliskan disana.

Salah satu kegiatan hari-hari saya selain berselancar dan menyerap informasi sepanjang saya terbangun adalah berusaha untuk produktif. Upaya tersebut saya pikir memuncak pada malam ini untuk kemudian memutuskan bahwa saya suka tidak suka mau tidak mau harus menantang diri saya untuk produktif, setidaknya menulis. Karena itu, saya mencoba untuk mengganti gaya menulis di blog ini dari yang tadinya berbasis pada kualitas untuk setiap postnya, saya akan lebih fokus kepada kuantitasnya. Saya akan mencoba untuk menuliskan setiap apa yang saya baca untuk setidaknya 2 hari sekali juga dengan janji untuk meningkatkan kualitas bacaan dan tontonan. Bagi Anda yang sudah terbiasa mengikuti saya mohon menyesuaikan diri dengan setelan baru ini jika Anda tidak terbiasa juga siapa peduli yah. Ini ruang intim saya dan saya berkuasa sepenuhnya disini.

Tabik.

Medio 60

Jarang-jarang sebenarnya saya menulis topik mengenai aksi dan agitasi namun hari ini ada sedikit hal yang ingin saya tuangkan. Berhubung sudah lama tidak posting juga jadi saya pikir tulisan pendek ini akan sedikit membantu. Rasanya seru juga membahas soal pergerakan-pergerakan. Baik, mari kita mulai.

Saya akan langsung masuk ke intinya. Pergerakan, emansipatif atau reformatif membutuhkan kerjasama antar agen. Dan ini yang menjadi beberapa pemikiran saya ke belakang sambil memantau timeline dan membaca beberapa buku: dalam setiap revolusi, pihak militer atau angkatan bersenjata perlu digaet serta. Clarence Brinton, penulis Anatomi Revolusi menulis tesis ini pada tahun 1930-an setelah mengkaji beberapa contoh revolusi di Prancis, Amerika, dan Rusia.

Revolusi adalah keniscayaan dalam pandangan Marxisme Ortodokos. Materialisme dialektik marxis secara garis besar menjelaskan bahwa sejarah adalah narasi-narasi perjuangan kelas. Di lain pihak. Trotsky mendefinisikannya sebagai pertarungan terbuka antara kekuatan-kekuatan sosial dan Negara, sebagai salah satu alat penindas yang dikuasai oleh segelintir kekuatan sosial yang mendominasi. Marxisme klasik semacam ini menggambarka revolusi sebagai suatu pertempuran terbuka yang memang sarat betul dengan kekerasan. Revolusi Prancis 1789 diwarnai kepala-kepala aristokrat dan borjuis yang menggelinding di guillotine sementara Revolusi Rusia 1905 merupakan bentrokan-bentrokan berdarah yang menewaskan banyak orang. Senjata adalah bagian tak terpisahkan dari revolusi yang membedakannya adalah kesadaran kelas. Semenjak Marx, revolusi yang dilakukan kemudian ditata untuk menjadi revolusi proletar. Sebagian berhasil. Perjuangan proletariat Rusia membuahkan hasil yang sangat manis pada tahun 1917 ketika di bawah pimpinan Lenin, mereka berhasil menumbangkan dan mengeksekusi Tsar Nikolas dan Dumanya. Sebagian kop lainnya, ambil lah contoh kasus PKI Madiun 1948 berbuah pembantaian.  

Pertempuran dan kekerasan tersebut merupakan bagian inheren dari revolusi dan karenanya, Brinton menyebutkan bagaimana peran kekuatan bersenjata di dalamnya. Revolusi Oktober Rusia berhasil menggandeng fraksi militer untuk bergabung dan Revolusi Prancis juga menggunakan kekuatan bersenjata. Hal tersebut juga yang menjadi pertimbangan PKI untuk membentuk angkatan kelima dengan mempersenjatai golongan petani. Dan berbagai contoh lainnya.

Sayangnya pandangan ortodoks semacam ini mendapatkan tantangan dimana-mana. Kop-kop dan revolusi yang dilancarkan oleh proletar untuk mendapatkan ‘diktator proletariat’ ternyata berbuah menjadi bencana kediktatoran. Keberhasilan Revolusi Oktober tak berbuah manis lama. 10 tahun setelah kemenangan gilang-gemilang tersebut, Soviyet di bawah Stalin segera berubah menjadi mesin pembantai. Narasi serupa terjadi juga di Kamboja di bawah Khmer Merah dan Cina di bawah Pemimpin Besar Mao. Ini tidak beres, revolusi sebagai awal menuju utopia ternyata tidak berjalan sebagaimana rencana.

Pada titik ini, jelas saja upaya emansipasi harus dikoreksi. Sebagian kaum yang masih percaya golongan militan tetap mempercayai revolusi dengan kekuatan koersif sebagai jalan pedang yang harus ditempuh sementara sebagian lain mencoba menelurkan alternatif. Titik paling penting dalam perjalanan ini saya pikir terjadi di medio 60-an dimana seluruh alam pemikiran diputar untuk menjumpai titik lain. Oh ya saya pikir saya sudah sering sekali menuliskan mengenai ini biar lah saya mengulangnya kembali.

Kapitalisme berubah wajah. Sebelum 60-an, ia adalah industrialisasi yang bertumpu kepada produksi masal, urbanisasi, dan pabrik-pabrik serta mesin mekanik. Antagonisme masa itu adalah para pemilik modal dan proletar: kaum buruh yang ada di pabrik. Gambaran muram masa itu bisa didapatkan dalam berbagai narasi dan gambaran seperti Oliver Twist karya Charles Dickens atau Ibunda karya Maxim Gorky. Untuk emansipasi buruh yang harus dilakukan adalah tentu saja revolusi untuk merebut moda-moda produksi (means of production).

Seiring perkembangan teknologi, selepas tahun menjelang tahun 1960, kapitalisme tidak lagi hanya berada di ranah ekonomi-politik melainkan merembes ke ranah budaya. Apabila sebelumnya aktivitas ekonomi utama merupakan produksi, Fordisme kemudian menggesernya ke konsumsi. Sebelum Fordisme, pabrik mencetak komoditas sebanyak-sebanyaknya untuk kemudian dicekok ke ‘konsumen’ mereka. Setelah Fordisme, produksi didesain by order dan mengikuti selera pasar. Sebelum Fordisme jangan harap bisa mendapatkan pacul sesuai dengan yang kita mau, semua dicetak seragam namun setelahnya, kita bebas memilih atau bahkan memesan pacul dengan ukuran dan warna yang kita suka.

Antagonsime juga jelas berubah. Setelah sebelumnya sejarah merupakan pertentangan antar dua kelas saja, setelah titik balik, pertentangan ternyata berjalan dimana-dimana dan beraneka rupa. Yang tadinya adalah pertempuran antara proletar dengan kapitalis menjadi pertempuran antara self dan others. Kaum marjinal melawan otoritas dengan kaum marjinal meliputi masyarakat adat, perempuan, lingkungan, LGBT dan tentu saja para buruh itu sendiri. Setiap front tersebut membutuhkan narasi dan strategi revolusinya masing-masing.

Kekerasan dan perlawanan bersenjata kemudian menjadi tidak seksi dan tidak lagi diminati terutama setelah gerakan generasi bunga. Para suara dan pembela kaum marjinal kemudian tergabung dalam civic society yang ditandai dengan munculnya LSM serta lembaga-lembaga advokasi. Perjuangan bergeser dari perlawanan bersenjata menjadi forum-forum diplomasi dan ilmiah sembari muncul istilah baru: pemberdayaan (empowerment). Perlawanan tidak lagi difokuskan untuk menggulingkan pemerintahan atau kop melainkan lebih kepada independensi golongan dan hak menentukan sendiri (self-determinancy).

Pertanyannya: akankah ini berhasil? Mari kita lihat fenomena timeline media sosial belakangan.

Di Indonesia, kini kita melihat gejala gerakan civic society ini melalui media sosial. Mereka saya rujuk sebagai elemen-elemen yang turun ke dalam gerakan #ReformasiDikorupsi dan aktif beradvokasi di media sosial dan berasal dari golongan intelektual seperti akademisi, aktivis, penulis, seniman dan jurnalis. Isu yang mereka angkat berada di ranah lingkungan, gender dan seksualitas, buruh, serta masyarakat adat. Bentuk perlawanan nir-kekerasan semacam ini menggunakan sarana-sarana seperti seni dan multimedia sebagai propaganda. Satu hal yang membedakan gerakan ini dengan gerakan ortodoks tentu saja metode dan pendekatannya. Yang paling mencolok yang bisa saya lihat adalah gerakan civic society anti militer dan alih-alih mencoba menggulingkan sistem, mereka mendesak adanya good governance yang berasaskan pada nilai-nilai kemanusiaan universal dan kebebasan. Sesuatu yang jelas sangat berbeda dengan kakak-kakak mereka yang berjuang dengan mengokang senjata di jalanan.   

Bagaimana dengan sifat anti-militer? Barangkali memang angkatan bersenjata bukan lagi menjadi kondisi pra-syarat. Namun catatan sejarah, sejauh yang saya catat, pergerakan belum menampakan hasil yang memuaskan jika tidak diback-up militer. Venezeula yang sebegitu terdesaknya masih dapat dipertahankan oleh Nikolas Maduro karena ia punya akses ke militer. Reformasi 1998 bisa dijadikan catatan namun toh kekuatan militer kembali lagi secara perlahan-lahan. Revolusi kebudayaan Prancis 1968 merupakan satu penggal sejarah yang sangat elegan dimana perlawanan tampaknya akan berhasil dengan semangat cinta, persaudaraan, dan keilmuan namun kemudian patah begitu saja dan hanya menjadi cinderamata sejarah.

Keberhasilan golongan dan pendekatan ini jelas saja masih menjadi pertanyaan. Fakta menunjukan bahwa secara umum mereka selalu terpukul oleh tindak tanduk oligarki. Penindasan jalan terus, lingkungan semakin carut-marut, ketidakadilan gender masih menjadi keprihatinan, LGBT masih disingkirkan, dan buruh masih menjalani kehidupan yang relatif kurang layak serta tuntutan yang ada dipenuhi untuk kemudian dimentahkan kembali. Contoh-contoh 10 tahun belakang, selama yang saya perhatikan menunjukan bukti-bukti demikian. Kalau ada klaim keberhasilan, sifatnya akar rumput dan merupakan inisiatif dari kolektif, bukan sistemik. Namun demikian, perlawanan nir-kekerasan seperti ini merupakan gaya baru yang sebaiknya dapat terjadi. Memutus rantai kekerasan adalah salah satu tujuan yang harus dicapai.

Barangkali kita masih terpukau dengan keindahan “Nyo, kita sudah melawan, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya”. Tujuannya adalah kehormatan bukan lagi kemenangan.

Saya tidak paham apa memang itu yang hendak dicapai atau bagaimana. Barangkali karena berada di ranah wacana, tujuan akhir gerakan ini adalah kesadaran bersama tanpa melibatkan sesuatu yang radikal atau memang masih menunggu momentum. Saya pribadi tentu saja tidak betah betul-betul melihat berbagai ketidakadilan dan kegilaan penguasa yang makin hari makin delusional dan mencoba untuk setidaknya menguraikan apa yang sebenarnya tengah terjadi. Soal masuk ke dalam arus pergerakan, hmmm.

scriptammanent