Ohana

Dari ratusan topik dan bab “menjadi dewasa”, hari ini saya mau mengambil cheesy motivation bahwa semakin kesini, hidup agaknya adalah tentang menyeimbangkan yang terjadi akibat pilihan dan yang terjadi begitu saja atau bermain di antara berusaha dan pasrah menerima. Kata orang bijak praktisi stoik, untuk mencapai situasi zen maka kita cukup berfokus belaka pada hal-hal yang ada dalam kuasa kontrol kita. Selebihnya hanya derau pengganggu yang tak perlu diwaro.

Dalam pada itu, maka menarik tampaknya melihat relasi diantaranya. Apakah segala pilihan dan tindakan kita pada akhirnya mendorong hal-hal yang tampaknya tidak masuk di akal? Apakah dunia masih berjalan dalam suatu rantai kausalitas atau is chain reaction real thing? Sementara itu, beberapa agama mengajarkan konsep karma sementara yang lain menggunakan hisab atau perhitungan. Saya sendiri masih keukeuh berpendapat bahwa segala-gala yang terjadi adalah konsekuensi yang kemudian keluar masuk dimensi chaos-order. Sementara saya sebagai pengamat hanya terpekur duduk di simpang bifurkasi untuk dengan nanar menatap bagaimana reaksi dari tindakan saya terpecah-belah dan utak atik gathuk mereka-reka realitas yang tengah terjadi, di sini saat ini.

Kalau kemarin saya bercerita mengenai lonely insecurity, maka kali ini saya mau membuka tulisan mengenai choosing insecurity, hehe. Semasa kecil saya acapkali bingung dalam menentukan pilihan. Entah bagaimana sembari saya menulis ini saya mengingat-ngingat momen-momen masa kecil saya ketika memutuskan membeli mainan dulu sekali. Saya selalu gamang menentukan pilihan di antara dua mainan yang ada di tangan saya. Apakah saya harus memilih figur patamon yang dapat berubah menjadi angemon atau garurumon yang bisa berubah menjadi weregarurumon (saya memilih garurumon yang ternyata setelah saya buka tidak sesuai dengan ekspektasi saya, belgendes!). Yang terjadi kemudian, ketika di mobil atau di rumah saya membuka mainan tersebut, saya tidak puas sama sekali dengan pilihan saya dan bisa berhari-hari memikirkan mainan lain yang tidak saya pilih.

Pengalaman demikian membentuk saya untuk kemudian pasrah wae lah dalam memilih sesuatu. Semakin dewasa, seni dan ilmu memilih bukan hanya sekadar menentukan mainan yang saya suka. Dalam beberapa hal keputusan yang saya ambil dapat berdampak sangat besar bukan hanya bagi saya, namun juga bagi orang-orang di sekitar saya. Namun demikian, pelajaran dalam memilih mainan tersebut membuat saya menjadi sembarang saja dalam menentukan pilihan bahwa apapun nanti yang saya pilih, saya tidak akan 100% puas terhadapnya. Kegalauan semacam ini pernah menjadi topik bahasan santer di salah satu sesi pertemuan Keluarga Mahasiswa Katolik Teknik (KMKT) (saya pernah aktif) dan ketika sesi tersebut naik ke permukaan yang saya lihat adalah orang-orang yang, syukur saya mengenal konsep ini, sawang sinawang.

Untuk beberapa kesempatan, terutama ketika saya didapuk untuk mengetuai organisasi SATU BUMI, saya dihadapkan pada bentangan kemungkinan dan keputusan yang nyaris tidak berbatas. Dikelilingan banyak orang dengan banyak kepentingan, kesadaran paling utama yang saya gunakan sebagai sandaran adalah it’s impossible to please everybody jadi saya ambil orang paling penting bagi hidup saya setiap mengambil keputusan yakni diri saya sendiri. Pilihan yang saya ambil harus dapat memuaskan diri sendiri sebelum akhirnya memuaskan orang-orang yang memang sejalan dengan kepuasan saya. Saya sadar ini egois betul dan saya dikonfrontir oleh begitu banyak orang mengenai hal ini namun bagaimana lagi. Dan seperti tradisi dalam blog ini, selalu ada hal yang malas saya jelaskan dan untuk tulisan ini, ini gilirannya. Saya tengah mengantuk pula.

Anyhow, pahit manis dan jalan pedang SATU BUMI adalah buah konsekuensi dari pilihan saya. Salah sedikit dari yang organisasi ini ajarkan adalah seni memilih dan menjalani pilihan tersebut sebaik-baiknya. Dan ketika kewajiban sudah paripurna, organisasi tersebut kemudian meluruh menjadi keluarga. Saya tidak perlu menjelaskan atau beromantika mengenai keluarga yang seperti apa ya tapi saya tahu bahwa organisasi ini adalah sekeping keluarga yang luar biasanya adalah keluarga yang saya pilih sendiri. Tak peduli bagaimana menyebalkan atau merisaukan kelakuannya, toh saya akan kembali ke haribaannya untuk merebah sejenak lalu bangkit kembali dan mengais-ngais peran di sisa-sisa arus kehidupan. Fakta bahwa hingga detik ini I’m still into it simply shows bagaimana keluarga pilihan ini sama istimewanya dengan keluarga bawaan. Lebih mesra bahkan terkadang karena saya sadar saya dan organisasi ini saling menghidupi, saling mengenang, dan saling beriringan. Ia bisa berubah lentur mengikuti zaman dan anggota keluarga lainnya atau bahkan menghilang atau saling melupakan namun entah bagaimana, ia terkunci dalam rantai kausalitas yang akhirnya menarik saya kembali. Lagi dan lagi.

Oh, saya romantis juga ya.

This is my family. I found it, all on my own. It’s little, and broken, but still good. Yeah, still good.

Stitch